Kamis, 30 Juni 2011

Naskah Monolog Gol Karya Dadi Reza Pujiadi

Cuplikan Naskah Monolog Gol Karya Dadi Reza Pujiadi
Seperti apa orangnya? Mana saya tahu. Saya kan tidak pernah ke pangkalan. Yang pasti, abang bisa lari terbirit-birit bila dengar siapa saja cerita orang itu. Dan hari ini, kabar itu datangnya dari Asmuni. Aku lihat abang lari ketakutan. Blengak-blengok seperti anak babi kesasar. Apa saja ditabrak. Lalu masuk ke dalam kamar.

Saya dengar dari mulut ke mulut, abang pernah sesumbar kepada semua anggota ojek, abang pernah janji dengan orang itu. Janji apa? Apa benar bang Iban pernah berjanji? Jangan-jangn abang yang undang dia datang ke rumah ini. Tapi abang memang tidak mau bertemu. Jadi abang sembunyi? Sekarang abang ada di dalam. Sembunyi, di bawah tempat tidur. Malah kalau tidak saya larang, tadi dia sempat mau masuk ke lemari.

Saya sedih, kok bisa jadi begini. Padahal saya sudah bilang. Sudah saya ingatkan. Jangan takut! Abang kan tidak salah? Memangnya abang habis malingin rumah orang itu? Abang punya hutang sama dia? Lah kan bukan. Kenapa harus takut. Kita hanya boleh takut sama yang di atas. Yang kasih kita napas. Yang kasih hidup dan pelihara kita. Hadapi dia! Hadapin! Tanya, kapan saya pernah berjanji sama kamu? Kenapa kamu selalu bikin takut saya? Keturunan setan belang ya? Punya uka-uka ya?

Kalau abang sembunyi. Ngumpet. Mana selesai masalahnya. Malah berabe kalau orang itu tahu abang takut. Orang itu malah menganggap dirinya menang. Wah repot, kalau-kalau kita membiarkan orang yang ingin memanfaatkan kita, berada di atas angin. Bisa berbuat semaunya. Siap-siap habis itu kita diinjek, diplintir, dilipat-lipat. Abang tidak maukan?

Saya bukan menakut-nakuti abang. Justru saya ingin menolong abang. Apa benar orang itu ajak abang kongkalikong? Ajak kerjasama? Abang tidak maukan? Bilang terus terang, semua pengurus dan anggota sudah sepakat, tidak mau membeli motornya. Tidak selera.lagipula kita tidak mau berurusan denga calo. Kita hanya percaya pada sumber yang jelas. Kan beres! Habis itu juga dia bengkok, kapok kejar-kejar lagi.

Kalau dia masih. Itu namanya pemaksaan. Laporkan ke pak Ramli! Beliau kan ketua GOL. Anggota koramil yang bekingin grup, biar pak Ramli yang urus. Jadi abang tidak perlu main umpet-umpetan sama orang itu. Tapi abang malah ngelak. Habis bagaimana, Tin? Justru pak Ramli yang suruh orang itu datang ke rumah, temuin abang. Oh, jadi salah dong saya, saya masih berpikir abang yang undang itu calo kemari. Pak Ramli memang keterlaluan. Dia kira kalau namanya sudah disebut, orang langsung takut, langsung mengiyakan. Memangnya dia Undang-Undang Dasar apa? Kita bisa setuju tawaran itu calo, kalau semua juga setuju.
Download : Naskah Monolog Gol

Rabu, 29 Juni 2011

Naskah Drama Lakbok Karya Aoh K. Hadimaja

Dramatic Persoanae Naskah Drama Lakbok
Koswara
Arsitek Pengairan
Rini
Istri Koswara
Siti Zahra
Inspektur Sosial, mantan kekasih Koswara
Karnadi
Petugas Pengairan, Mantan Kekasih Karnadi
Sulaiman Rasid
Mantri Kepala Pengairan (Koruptor)
Wiranta
Ketua Golongan Kedaulatan Islam, umur 28 tahun

Cuplikan Dialog Naskah Drama Lakbok
RINI
Karena sikapku tak berubah padamu, maka kuharap istrimu menjadi temanku pula. Di sini kami orang baru, tak seorang pun yang bisa menjadi tempat curahan beban penghidupan.

KARNADI (mengejek)
Hanya karena kesulitan-kesulitanmu, bukan karena ia istriku, maka engkau ingin berkenalan. Bukan berolok-olok Rini, kalau aku yang mengucapkan demikian, mudah orang mengerti. Tetapi engkau! Bukankah engkau berbahagia dengan suamimu!?

RINI
Berbahagia? Entahlah. Penghidupan rumah tangga jauh dari yang kukira, mungkin kalau ada yang bisa kuajak berbicara, agaknya tak sesulit ini. Aku khawatir suamiku menjadi lemah. Kalau dia setiap hari diganggu oleh kekurangan-kekurangan dalam rumah tangga.

KARNADI
Demikian besar kesanggupanmu, berani memecahkan kesulitan-kesulitan itu sendiri.

RINI
Banyak yang jatuh menjadi korban korupsi, karena tanggungannya amat menekan.

KARNADI

Kalau engkau rela, pikulan itu mungkin menjadi ringan pula.

RINI (menarik napas)
Bertambah kubiarkan suamiku dalam pekerjaannya, bertambah jauh ia dariku rasanya. Tak ada yang penting baginya lagi, hanya rawa. Rawa ini, rawa itu, rawa yang hendak dikeringkannya. Ia ditelan mentah-mentah oleh rawa itu. di Jakarta aku banyak teman, banyak hiburan. Kalau dia pergi beberapa hari sekalipun, tidak amat terasa, tetapi di Banjar ini! Apakah bagimu begitu juga, karnadi, hiudp hanya untuk bekerja belaka?

KARNADI
Aku tak ada kepuasan dalam rumah tangga

RINI
Maksudmu suamiku demikian juga?

KARNADI
Kuharap tidak. Bukankah engaku didapatkannya karena dorongan cita-cita? Rumah tangga bagiku sebuah neraka. Bagaikan emnyongsong hari, kulangkahkan kakiku ke kantor. Sebaliknya serasa dunia menjadi sempit, bila tiba saatnya kantor ditutup.

RINI
Sekelam itukah penghidupanmu Karnadi?

KARNADI
Lebih dari apa yang dapat kugambarkan. Karena itu tak ada pekerjaan yang terlampau sulit bagiku. Pun suamimu seorang yang memberikan semarak kepada pekerjaan. Jawatan pengairan kita ditinggalkan melempem oleh tuan Suwarna, pemimpin kita dulu. Suamimu adalah penjelmaan almarhum Wiratanuningrat yang membuka Lakbok pertama kali. Kalau almarhum berhantam dengan demit dan hantu yang menguasai rawa itu, maka suamimu adalah hantu bagi orang-orang yang merugikan Lakbok dengan bertopeng pemimpin rakyat dan buruh.

File Naskah Drama Lakbok :
 - File Tipe : Ms. Word

Semoga Naskah Drama Lakbok Karya Aoh K. Hadimaja ini bisa membantu anda dalam menyelesaikan tugas atau garapan dan kami ucapkan selamat berproses semoga dalam Proses kretif tidak ada kendala apapun dan jangan lupa Baca juga Naskah Drama yang lainnya.

Naskah Monolog Lidah Pingsan Karya Agus Noor dan Indra Trenggono

Sinopsis Naskah Monolog Lidah Pingsan
Seorang wartawan mencoba memberikan kesaksiannya, tentang Pak Mardiko yang pepe di Balai Desa Menangan. Sudah hampir 30 tahun Pak Mardiko, seorang buruh tani, pepe seperti itu, digerus hujan dan debu. Pak Mardiko pepe menuntut kejelasan nasib anaknya yang dituduh mengerakkan kerusuhan, dan hilang tak tentu rimbanya.

Kegigihan Pak Mardiko, membuat Pak Lurah merasa terganggu. Ia merasa itu sebagai ancaman atas jabatannya. Bermacam usaha ia lakukan. Membujuk secara halus, sampai mengirim petugas keamanan untuk menggertak dan menghentikan pepe Pak Mardiko. Tetapi Pak Mardiko bergeming. Ia terus menuntut agar Pak Lurah memberi penjelasan, bagaimana nasib anaknya yang semata wayang itu. Ia yakin, Pak Lurahlah yang merancang skenario penangkapan itu, yang merekayasa peristiwa kerusuhan antar desa itu. Untuk mencuci tangan, Pak Lurah melimpahkan semua kesalahan itu pada anaknya. Pak Mardiko yakin itu. Karena itulah, ia terus bersikukuh pepe, meski tubuhnyta telah renta dan sakit-sakitan.

Peristiwa itulah yang ingin diberitakan oleh wartawan itu. Tetapi ancaman dan “situasi politik” di desa itu, membuatnya bimbang dan peragu. Ia terombang-ambing untuk menentukan sikap, bertahan sebagai jurnalis atau menyerah sebagai “wartawan resmi”. Ia merasa tak berdaya. Tapi ia terus didorong untuk menuliskan peristiwa itu sebenar-benarnya. Pertarungan pun bergolak dalam batinnya. Sampai kemudian ia menyadari dirinya tak lagi punya kata-kata, tak bisa bersuara. Lidah telah pingsan dalam mulutnya. Membuat apa pun yang diucapkan terdengar aneh dan ganjil.

Cuplikan Naskah Monolog Lidah Pingsan
Sepanjang hari Pak Mardiko berteriak memanggil Pak Lurah. Orang tua itu menuntut bertemu dengan Pak Lurah, karena ingin menanyakan nasib anaknya yang hilang setelah terjadi kerusuhan. Berbagai instansi, lembaga perwakilan, kantor-kantor bantuan hukum, LSM bahkan sampai Komnas HAM, sudah ia datangi. Tapi hasilnya masih remang-remang. Bahkan gelap. Mereka hanya bisa angkat bahu setiap ditanya. Tampaknya ada jaring laba-laba raksasa yang menabiri kasus ini.

“Gusti Allah tidak sare. Tuhan tidak pernah tidur.” Begitu keyakinan Pak Mardiko yang selalu dikatakan kepada saya. Ia juga yakin anaknya tak bersalah. Ketika kerusuhan di Desa Menangan meledak, anaknya lagi asyik nonton televisi. Dan saya memang sudah mengecek kebenaran ini dengan mengkonfirmasikannya ke beberapa tetangga Pak Mardiko.Anak Pak Mardiko itu memang tidak pergi ke mana-mana ketika terjadi kerusuhan. Karena itu Pak Mardiko begitu kaget ketika tiba-tiba anaknya dinyatakan sebagai biang keladi kerusuhan. Membuat anak itu ketakutan, lari dan dinyatakan sebagai buronan. Nah,…liding crito, alkisah… akhirnya anak Pak Mardiko tertangkap juga, dibawa petugas entah kemana, dan tak jelas nasibnya. Karena jalur formal-struktural sudah buntu, Pak Mardiko nekad menempuh jalur transendental-spiritual. Bertahun-tahun matahari memanggangnya, hawa dingin menusuknya. Semangat perlawanannya ternyata jauh lebih perkasa dari tubuhnya. Itulah yang membikin saya cemburu sekaligus malu. Kenapa jiwa saya begitu lembek, hanya karena imbauan, dering telpon, dan ancaman. Lebih memalukan lagi, setelah tiga puluh tahun Pak Mardiko melakukan pepe, tak satu pun koran Indonesia menuliskan….

Senin, 27 Juni 2011

Naskah Monolog Episode Daun Kering Adaptasi Cerpen Karya Larsi De Isral

Cuplikan Naskah Monolog Episode Daun Kering Adaptasi Cerpen Karya Larsi De Isral oleh Zulfikri Sasma
SARJUN DIAM SEBENTAR, MENGHAPUS AIR MATA YANG MENETES DI PIPINYA. BERDIRI LALU BERGERAK KE DEPAN PANGGUNG.

Sampai malam itu, saya masih menganggap Papa sosok yang tegar, tidak rapuh apalagi cengeng. Saya punya banyak alasan untuk anggapan ini.

Pernah suatu ketika saya iseng-iseng mengikuti papa buru babi. Maksud saya untuk menemukan sebuah titik lemah sehingga Papa berhenti membeli anjing yang konon didatangkan dari Jawa. Tetapi yang saya temukan bukan titik lemah, melainkan noda hitam yang dicapkan kepada Papa. Ah, saya tidak tahu bagaimana mengatakan bagian ini. Papa ternyata seorang kriminal! Di hutan itu ia menanam ganja. Dan, buru babi rupanya hanya kedok buat mengelabui saya!

Ketika itu saya ingin lari ke tempat tak bernama dan entah dimana. Saya bingung. Tetapi darah muda saya berkata lain. Lawan! Ya, saya mesti melawan! Saya ambil beberapa helai daun jahanam yang tengah di jemur oleh anak buah Papa untuk saya linting. Saya kemudian mencari Papa.

Saya temukan Papa sedang merintih kesakitan, katanya diseruduk babi hutan. Ia hanya merintih, tidak menangis. Rasa iba tiba-tiba menjalar di dada saya, namun rasa benci telah meruang. Iba tiba-tiba tehalau oleh benci.

Seperti tidak tejadi apa-apa, saya menyalakan lintingan tadi, menghisapnya dalam-dalam dan menghempuskan asapnya ke arah Papa. Papa mencari-cari bau, lalu berdiri dan mengayunkan tamparan keras ke arah saya.

Buang! Buang kataku! Aku menanam ganja-ganja itu bukan untuk anak-anakku. Melainkan untuk anak-anak orang lain. Aku hanya butuh uang untuk-anak-anakku!

Hmmm, aku bangga jadi anak orang yang tidak memikirkan anak-anak orang lain. Aku bangga! Aku bangga Pa!
Download : Disini

Minggu, 26 Juni 2011

Cerpen Ia Baru Saja Membunuh Suaminya Karya Alex R. Nainggolan

Ia Baru Saja Membunuh Suaminya
Karya Alex R. Nainggolan

Ia baru saja selesai mengerjakan sesuatu yang mungkin membuatnya merasa bahagia. Nyatanya, ia tersungging, penuh dengan raut kepuasan di wajahnya. Ia membersihkan pisau yang telah berlumur merah itu, ia membilasnya dengan air sampai bersih. Dan, kilatan matanya itu seperti sebuah lampion yang menunggu, berdenyar dan penuh cahaya. Ya, ia telah melakukan pekerjaan yang menurutnya paling berat: membunuh suaminya sendiri!

Ia baru saja bangun pagi-pagi sekali. Menyiapkan kopi buat suami. Tetapi ia merasa suaminya akhir-akhir ini sering memarahinya, entah itu mengumpat, untuk sesuatu yang biasanya menjadi rutinitas namun ia terlupa. Dan menampar, bahkan untuk urusan yang sepele sekalipun. Ia menangis, tersendat, begitu tertahan. Isak yang tak bergerak, seperti jarum waktu yang berputar mengerat, begitu diam. Terasa perlahan. Sehirupan napas. Ia ingat, mengapa beberapa bulan belakangan ini suaminya sering marah-marah padanya, bahkan untuk urusan yang sepele. Mungkin karena sibuk mencari duit. Kata orang, duit terkadang jadi masalah dalam keluarga. Namun apakah semuanya bermakna karena materi semata saja?

Ia bangun pagi-pagi sekali. Matanya seperti sorot embun. Namun ketika ia menyodorkan gelas kopi, suaminya mendampratnya. Padahal ia masih ingat bagaimana tangan yang kekar itu mendekapnya perlahan. Ya, ia masih mengingatnya. Dulu, ah, mengapa orang selalu senang mengenang kesilaman. Seperti sketsa bayangan rabun yang terkunci, pintu yang menyodorkan sejumlah kenangan, di mana warna-warni indah saja yang terlihat. Tetapi perubahaan adalah keniscayaan, sebentuk kesederhanaan yang akan datang di tubuh manusia. Dan ia pun paham, suaminya tengah berubah, bukan yang dulu lagi. Ketika menggandeng tangannya di pusat keramaian kota, ketika mencium bibirnya dengan lembut di dalam bioskop yang gelap…

Ah, mengapa ia mesti bangun pagi-pagi sekali? Toh, dunia juga tak akan beda baginya, terkurung di dalam rumah, disibukkan dengan pekerjaan yang biasa-biasa saja. Memasak. Mencuci piring dan baju. Nonton televisi. Sesekali, sebenarnya ia ingin suaminya mengajak jalan-jalan ke suatu tempat di dalam kota. Namun semuanya telah berubah bukan? Ya, ia pun paham --jika dirinya mesti bangun pagi-pagi sekali, dengan begitu ia bisa menyiapkan segalanya. Dengan begitu ia bisa menyediakan kopi untuk suaminya. Dengan begitu ia merasa telah melunaskan tugasnya sebagai seorang istri yang baik. Istri yang digambarkan dalam agamanya, bagaimana mesti bersikap kepada suami. Tetapi, ketika menyodorkan segelas kopi yang masih ngepul dengan asap tipis: lho,kok¸ malah digampar.

Ia menangis. Sejadi-jadinya. Pertahanannya yang tadi jebol juga. Ia tak mampu menampung. Ia sedih. Ia menyudut. Suaminya nanar, menjambaknya, menarik rambutnya. Ia merasa terbanting, ia ingat bagaimana ia biasa dipeluk oleh tangan hangat itu. Namun nampaknya segalanya sudah berlalu. Suaminya marah.

"Aku dengar kau sering kelayapan keluar rumah, ketika aku sedang bekerja. Dengan siapa?"
Ia hanya diam saja. Membisu. Tak sempat mengucapkan sesuatu.

"Ayo, jawab!!" Hentakan dari suaminya berlanjut, "Dengan siapa? O, jadi begini figur istri yang baik, kelayapan. Aku mendapatkan info dari orang yang dekat dengan kita, katanya malah kau sampai peluk-pelukan segala, di depan keramaian lagi!"

Ia mencoba mengingat. Tetapi segalanya abu-abu. Seperti ia merasa lelah ketika ingin membuka album foto masa lalu mereka berdua. Berapa lama mereka saling mengenal satu sama lainnya? Apakah benar ada kecurigaan mendasar dalam diri suaminya?

Demikianlah. Kecurigaan suaminya akhir-akhir ini seringkali meningkat. Ia tak tahu kenapa. Apakah sebuah keluarga dibangun dari rasa tidak percaya? Kecurigaan yang menjelma jadi lempung. Sesungguhnya, dulu, sebelum memutuskan menikah dengan lelaki itu, ia mengkhayalkan sebuah keluarga yang baik. Di mana ia akan menerima belaian kasih sayang sepanjang hari dari suaminya. Namun kenyataannya, yang terjadi tidaklah mudah. Ternyata membentuk keluarga merupakan suatu hal yang sangat sulit.

Apakah cinta memunyai dendam? Barangkali ya. Tetapi selalu ada sisi lain yang menampak, yang justru membuat keruh suasana. Dan ia berusaha untuk tetap mencintai suaminya, sebagaimana ia tercipta. Perempuan yang selalu diajar oleh kedua orang tuanya untuk tunduk dan setia di hadapan suami.

Tetapi, kenyataan kembali memaksa. Semacam ketika rasa was-was yang hadir terus saja melibasnya, setiap kali ia pingin bertemu dengan suaminya. Setiap kali dirinya masuk ke dalam rumah. Was-was yang menggelembung besar, yang membuat ia membenci suaminya. Meski di sudut hati kecil yang lain, ia masih mencintai suaminya. Ah, cinta, apakah harus tetap seperti ini? Ia merasa selalu ada yang berbaur antara benci dan suka. Ketika ia menghadapi --rutinitasnya sebagai istri belakangan ini-- yang setiap kali memandang wajah suaminya selalu ada kelebat bosan.

Di mukanya kini ada lebam biru, yang membuatnya malas berkaca. Wajahnya tidak lagi terlihat cantik, ia merasa ada yang menguntitnya. Seseorang, mungkin yang memantaunya dari kejauhan. Di muka cermin, ia saksikan wajahnya yang sendu, tak berdaya, dan takluk. Ia merasakan wajahnya nampak lebih tua akhir-akhir ini. Ah, apakah suaminya yang menyebabkan seperti itu?

Kelebat itu datang lagi, mengoyak dirinya. Padahal ia ingin mengembara ke masa lalunya yang bahagia itu. Ketika pertama kali suaminya menyatakan jatuh hati padanya. Kelebatan yang selalu bahagia. Ia merasa melayang diperlakukan istimewa. Dan kini, setelah mendampingi hidup suaminya selama beberapa tahun, ia merasa ada hal lain yang dipenuhi kejanggalan. Sesuatu yang justru turut memperkeruh semua rutinitasnya.

Ia ingin berdoa supaya ada seorang pangeran menjemputnya. Atau seorang ksatria berkuda membawanya pergi dari rumah ini. Sebab rumah nyatanya tak pernah lagi membuatnya betah. Ia selalu merasa terdesak, ingin pergi keluar jauh. Mungkin ke arah laut, di mana ia bisa duduk berdua-duaan dengan lelaki penyelamatnya. Menikmati matahari, menikmati pasir, mengarsir angin yang kesiur membawa ombak, yang mendamparkan segala buih. Ia ingin duduk berdua-dua, berwaktu-waktu.

Memang sekali dua kali masih ada lelaki yang dikenalnya, mengajaknya pergi. Semenjak suaminya sering memukulinya, praktis ia keluar jauh dari rumah. Ia memang menemui lelaki selain suaminya. "Barangkali aku telah berkhianat," keluhnya pada Dhesi, sahabat curhatnya. Sambil duduk memandang jauh, ia bertanya lirih, "Apakah cinta mesti diisi dengan para pecundang? Dikhianati dengan kadar kesetiaan yang begitu larat?"

Pagi itu, setelah ia menyeduhkan kopi dan menyiapkan sarapan pagi. Seusai ia merasakan tangan kekar yang menampar wajahnya, padahal dulu tangan itu begitu lembut membelai dirinya. Padahal dulu tangan itu selalu hati-hati dalam memegang setiap bagian tubuhnya.

Ia merasa ada tenaga lain yang merasukinya. Masuk ke dapur, mengambil sebuah pisau. Ya, ia baru saja selesai mengerjakan sesuatu yang mungkin membuatnya merasa bahagia. Sesuatu hal yang barangkali tak pernah diimpikan namun menjelma jadi sebuah kenyataan yang berdenyar. Nyatanya, ia tersungging, penuh dengan raut kepuasan di wajahnya. Bibirnya seakan dipenuhi dengan ekspresi kemenangan. Ia membersihkan pisau yang telah berlumur merah darah itu, ia membilasnya dengan air sampai bersih. Dan, kilatan matanya itu seperti sebuah lampion yang menunggu, berdenyar dan penuh cahaya. Ya, ia telah melakukan pekerjaan yang menurutnya paling berat: membunuh suaminya sendiri!

Di sudut yang lain, sesosok tubuh tergeletak, bersimbah darah. Sementara, pagi telah begitu terang.

Ruang Cipta, Kedaton, Januari-Februari 2004

Jumat, 24 Juni 2011

Naskah Drama Tarian Kulit Hitam Karya Fairuzul Mumtaz

Cuplikan Dialog Naskah Drama Tarian Kulit Hitam Karya Fairuzul Mumtaz sebagai berikut:
KARABO
Nyonya juga mengatakan begitu. Tapi tidak akan, Nona. Kupikir, memasak di hotel seperti memberi makan sapi-sapi. Tak seorang pun yang akan berterima kasih. Dan saya kira, semuanya berkat Nona dan Nyonya yang telah mengajari saya masak.

NONA KATE
Kau jangan melebih-lebihkan. Itu karena kelebihan dan kepandaianmu menangkap apa yang kami ajarkan padamu. Pelayan kami sebelummu tidak pernah memasak seenak masakanmu. Dan kami selalu gagal mengajarkan masakan-masakan sesuai resep kami.

KARABO
Sejak saya datang bekerja di rumah ini, Nona dan Nyonya mengajari saya banyak masakan. Di sinilah, Nona, saya pertama kalinya belajar kata resep memasak. Ketika Nona pergi sekolah besar, Nyonya mengajariku membaca buku masakan. Pada mulanya aku sangat lambat, lebih lambat dari pedati sapai. Sekarang aku tahu lebih banyak. Sesudah beberapa bulan di sini, aku bisa memasak masakan spesial untuk tamu-tamu Nyonya atau Nona.

NONA KATE
Ya. Para tamu juga sering memuji masakanmu. Dan lagi, caramu melayani mereka juga sangat bagus.

KARABO
Nyonya yang mengajari saya cara melayani para tamu dengan baik.

NONA KATE
O, aku tidak pernah melihat mama melakukannya.

KARABO
Nyonya melakukannya ketika Nona sedang pergi ke sekolah besar. Tidak hanya pada saya, Nona. Apakah Nyonya tidak pernah menceritakan ini?

NONA KATE
Kau tahu sendiri, Karabo. Aku dan mama jarang bertemu. Kami sibuk sendiri-sendiri. Seperti sekarang ini. Aku pulang, mama pergi. Hanya sarapan yang mempertemukan kami. Mama memang sering pergi rapat.

KARABO
Untuk apa?

NONA KATE
Untuk saudara-saudaramu.

File Naskah Drama Tarian Kulit Hitam :
 - File Tipe : Ms. Word

Semoga Naskah Drama Tarian Kulit Hitam Karya Fairuzul Mumtaz ini bisa membantu anda dalam menyelesaikan tugas atau garapan dan kami ucapkan selamat berproses semoga dalam Proses kretif tidak ada kendala apapun dan jangan lupa Baca juga Naskah Drama yang lainnya.

Naskah Monolog Rahim Karya Cok Sawitri

Cuplikan Monolog Rahim Karya Cok Sawitri
Sebuah meja yang tidak terlalu besar, tidak juga terlalu kecil, terbuat dari bahan kayu besi. Lalu dua buah kursi yang diletakkan berseberangan saling berhadapan, jam dinding yang memantulkan suara detak jam pada tiap kali geraknya membuat jantung lebih cepat berkerut. Belum lagi udara yang memasuki hidung begitu sarat mengandung debu yang seketika membikin tenggorokan tercekat perih.

Pintu di belakang tubuh saya otomatis menutup sendiri. Sisa desir anginnya, membuat saya seperti merasa didorong ke kubangan pasir, menyebabkan leher terasa demikian berat dan kaku. Sekali lagi, detak jarum jam dinding itu membuat pori-pori saya mengembang membentuk lubang dingin. Menggigilkan hati.

Saat itu, saya tidak memerlukan penjelasan apa pun, secara naluri saya mengerti, mengapa mereka, tiga orang lelaki itu, memasukkan saya ke kamar ini.
Karena sebelumnya, entah suatu kebetulan, seminggu yang lalu, seorang sahabat telah mengingatkan saya akan kemungkinan semacam ini. Tetapi peringatan sahabat saya itu, sungguh sulit saya percayai. Memang, sudah sering saya dengar kabar-kabar tentang berbagai kejadian aneh dan tidak logis yang menimpa banyak orang. Misalnya, ketika seorang teman dengan mata tertutup dibawa di tengah malam oleh sekelompok lelaki. 
Teman saya itu diajak berputar-putar, tetapi entah kemana, teman saya tak pernah ingat. Dia hanya ingat diajak berkeliling! Tanpa henti dan tidak pernah berhenti. Dia juga ingat, selama perjalanan berputar-putar itu tak ada satu pun orang dari para lelaki yang membawanya itu menyapa dia dengan sepatah kata sekalipun! Teman saya hanya mendengar suara langkah sepatu dihentak-hentak silih berganti dengan letup kosong gerakan pelatuk pistol, membentuk irama dingin dan mencekam ulu hati. Entah apa namanya peristiwa itu. Teror. Intimidasi. Pengalaman gelap. Entahlah. Saya tidak paham. Sebab teman saya itu akhirnya dikembalikan seperti sedia kala ke rumahnya. Sampai kini dia tetap hidup normal. Juga tidak ada sekecil apa pun sebagai suatu tanda pernah mengalami suatu peristiwa. Yang tersisa dari peristiwa itu, sebuah sorot mata, yang bila saya ajak bertukar pandang, membuat perasaan seperti tersedot pusaran angin. Atau secara pongah saya seolah melihat di lubang matanya telah tumbuh sebatang pohon besar dengan akar ketakutan yang demikian hebat.

Ya, memang besar perbedaannya antara mendengarkan cerita dengan saat mengalami sendiri, bahwa kejadian semalam itu, yang dialami oleh teman saya itu, yang semula hanyalah cerita-cerita penghangat disaat minum kopi dapat menjelma sebagai kenyataan. Dialami oleh siapa saja. Tetapi, saya sulit percaya apabila itu kemudian terjadi terhadap diri saya.

Nyatanya, saya mengalami, tetapi saya merasa lebih beruntung dibandingkan dia. Setidaknya, saya paham, sesuatu telah direncanakan untuk saya dan saya siap mengalaminya. Karena itu saya tidak perlu penjelasan. Kamar saya ini sudah lebih cukup dari selembar kertas penuh kalimat penjelas.

Download Naskah Monolog Rahim >>>>>> Disini

Cerpen Bisikan Aneh Karya Yanusa Nugroho

Bisikan Aneh
Oleh Yanusa Nugroho

Jangan lupakan aku. Kabari aku jika kau sudah sampai di sana, begitu katamu ketika melepaskan kepergianku. Namun, pada saat yang bersamaan, perasaan ini berkata lain. Ada sesuatu yang tiba-tiba melintas, dan dengan caranya yang aneh pula dia mengatakan bahwa yang akan terjadi adalah sebaliknya.
Oleh karenanya, mungkin jika kau memperhatikan tatapan mataku, atau mimik yang tergambar di raut wajahku, kau akan tahu bahwa aku meragukan setiap kata yang kau ucapkan kepadaku.
Tetapi, itulah. Aku sendiri tak tahu lagi kepada siapa aku menaruh kepercayaan. Dusta itu sudah terlalu sering menghujaniku. Kebohongan rasanya seperti genting pada setiap rumah, atau jendela dengan kaca-kaca timah menorehkan warna-warninya di kehidupanku. Sehingga, jangan heran jika pada akhirnya aku pun mendiamkan saja apa yang terjadi pada diriku. Toh, akhirnya kau berbohong kepadaku.
"Jangan lupa, ya.." Itu ucapanmu sambil melemparkan senyum dari bibir yang biasa kau berikan padaku untuk kulumatkan di malam-malam kita tempo hari.
Ah, sandiwara apa lagi yang tengah kau mainkan, manisku? Bahkan ketika kukatakan bahwa kepergianku ini untuk sesuatu yang penting bagi kita, dan kau menunjukkan keberatan karena lamanya kita berpisah, aku sudah tahu bahwa itu hanya pura-pura saja. Kepura-puraan seutas tali layang-layang, yang kau tarik seolah menurunkan, yang sesungguhnya membuat terbangnya kian tinggi. Aku tahu, sayangku, aku tahu.
Maka, ketika pesawat ini mendarat dan aku melanjutkan perjalanan dengan landrover, mendaki dan menjelajahi tanah tak ramah, aku pun kian tergelak-gelak oleh sandiwara yang kau mainkan. Tidak, kau tidak bermain, tetapi menyutradari lakonku. Aha, kau menjadi sutradaranya!
Aku tahu kau tengah menimbang-nimbang dan menggores-goreskan naskah yang kau edit sendiri, dan mengarahkan langkahku untuk menemui kegagalan itu. Kau pikir aku tak tahu apa yang kucari? Kau pikir aku tak tahu siapa yang akan kutemui? Meskipun ketika kukatakan bahwa aku sendiri tak yakin benar akan apa yang akan kucari ini, dan kau mencegahku --ah, betapa manisnya adegan itu-- aku tahu bahwa sebetulnya kau tengah berdoa agar aku cepat-cepat pergi dan menjumpai bibir jurang kehampaan yang menganga.
"Sudah lama kenal sama Mahmud?" Tiba-tiba orang yang menjemputku bicara. Aku tak percaya manusia besi ini bisa bicara. Sejak kedatangannya di bandara, dan setelah hampir tiga jam dia bersamaku, baru ini yang diucapkannya.
Kau tahu, sayangku, caranya bicara menunjukkan bahwa apa yang diucapkannya hanyalah sebuah basa-basi, pemerah bibir. Dia tak punya kepentingan apa-apa denganku, karenanya dia bertanya tentang sesuatu yang tak berkaitan dengan urusannya. Bayangkan, jika saja kujawab "sudah", lantas dia mau bilang apa? Atau misalnya aku berdusta dengan mengatakan "belum", kira-kira apa yang akan dijadikannya pertanyaan berikutnya? Tak ada. Persis seperti caramu menghadapiku. Semuanya basa-basi.
"Sudah."
"O...berapa lama?"
Nah, apa kataku. Dia hanya mencoba berbasa-basi lagi.
"Sepuluh tahun...," jawabku asal saja.
"Teman kuliah?"
"Bukan."
"Teman kerja?"
"Bukan."
Nah, betul, kan, kataku, dia tak bisa menyambung dengan kata-kata lagi. Itu semua karena dia hanya berbasa-basi.
"Kita akan sampai di ibukota kecamatan kira-kira dua jam lagi. Dan karena di dalam dua jam itu saya khawatir kita tidak menemukan kedai atau apa pun, sebaiknya kita mampir dulu di pasar ini. Sekalian kita cari pompa bensin."
"O...bagaimana mungkin dalam dua jam perjalanan kita tidak bisa menemukan warung, atau kedai makanan?"
"...?"
Dia hanya menatapku dengan bingung. Otaknya tak cukup cerdas mencari sebuah kalimat yang bisa membuatku paham. Lalu, sambil menengok ke kanan dan ke kiri, mencari warung, dia kembali tenggelam dalam kebisuannya.

Selama menunggu makanan di kedai, aku membayangkan serbuk racun ditaburkan di makanan yang akan kumakan. Ah, jangan kau pura-pura, sayangku, dia adalah orang suruhanmu. Jangan menyangkal, aku tahu. Engkau ingin tahu bagaimana aku bisa tahu? Haha...untuk apa? Membuktikan bahwa kau adalah seorang juru catat yang andal? Dia dengan mudahnya menyuruh si pemilik warung untuk menaburkan sejenis sianida atau racun apalah namanya, ke dalam makananku.
"Saya belum lapar..."
Dan lihatlah wajahnya yang tolol itu.
"Saya sudah pesan 2 piring dan Anda setuju kita makan dulu. Kenapa tiba-tiba merasa belum lapar?"
"Maaf, ini perut saya. Sayalah yang paling tahu kondisinya."
"Hmm...tapi kita harus bayar 2 piring."
"Tak masalah. Saya akan bayar. Kalau mau, silakan makan punya saya..."
Piring dan lauk dihidangkan. Ikan bakar, sambal dan lalapan.
Dia makan dengan lahapnya. Aku hanya mengamatinya saja. Dia terlalu lahap, dan betul-betul menikmati nasi hangat dan ikan bakar itu.
"Jadi, nggak makan?"
Aku menggeleng.
"Sayang kalau dibuang. Saya makan, ya?" Dan dia langsung mengambil jatahku.
Dan kembali dia melahap habis nasiku, laukku dan lalapanku. Dia minum dengan tegukan besar dan mengeluarkan sendawa besar. Sungguh edan!
Kuamati perubahan di wajahnya. Sebentar lagi, ya, sebentar lagi dia akan...

Aneh. Si besi ini tak mati-mati juga, padahal, menurut dugaanku, piringku pasti beracun dan...mungkin aku salah. Landrover menderum lagi membelah malam.
Dia menyalakan rokok dan menikmati laju kendaraan dengan seenak perutnya. Sementara itu aku terayun-ayun dan merasakan kantuk mengganduli mataku. Tidak, tak mungkin aku tertidur, sementara kaki-tanganmu siap menikamku. Ini juga bagian sandiwaramu, bukan?
Tiba-tiba mobil berdecit, membelok dan berhenti. "Maaf, perut saya..." dia lari ke semak-semak sambil membawa sebotol air. "Kebanyakan sambal," teriaknya sebelum menghilang di semak-semak.
Bukan kebanyakan sambal, tapi sianidamu mulai bekerja. Bagaimana mungkin dia yang menyuruh menaburkan bubuk racun itu kemudian memakannya? Apakah dia ingin meyakinkan aku bahwa... ah, sandiwara terlucu yang pernah kusaksikan.
Mesin menyala, lampunya mengarah ke semak-semak. Sialan, aku disuruh menyaksikan dan menunggui pembunuhku buang air! Kampret! Aku sungguh tak mengerti jalan pikiranmu. Kita sebentar lagi akan menikah, dan dalam pernikahan itu, kujamin bahwa diriku akan bisa membuatmu menjadi wanita terhormat, ibu dari anak-anakku. Yang aku tak mengerti, mengapa kau sudah... ah, itu yang aku tak paham. Apa sebetulnya motivasimu?

Dan Mahmud itu, nama yang kau sebut-sebut sebagai kawan yang mungkin bisa membantuku itu, bukankah dia kekasih gelapmu? Jangan kau sangkal dan membalikkan kenyataan itu sebagai bentuk kecemburuanku padamu. Jika bukan kekasih gelapmu, mana mungkin kau secara cepat memberikan nama itu kepadaku?
Apalagi, rumahnya jauh dari rumah kita. Bayangkan, aku harus berpesawat, lalu naik landrover ini berjam-jam, baru bisa menemukannya. Aku curiga, jangan-jangan kau telah bersekongkol dengan Mahmud. Dan manusia besi yang sekarang sedang berjuang keras di balik semak-semak itu, tentunya adalah kaki-tangan Mahmud juga.
Tetapi, mengapa?
Aku sendiri meragukan apakah yang kucari ini akan kutemukan atau tidak. Tetapi, ketika kukatakan kepadamu, tempo hari itu, aku jadi curiga. Jangan-jangan, sikapmu, ucapanmu, bahkan tangisanmu, sebetulnya adalah taktikmu saja agar aku meragukan kepergianku. Itu sebabnya, aku justru ingin pergi dan mencarinya. Seandainya saja, engkau tidak keberatan dan mempersilakan aku pergi, mungkin aku malah tak pergi.
Tetapi karena kau merengek agar tak kutinggalkan, entahlah, keinginanku untuk pergi rasanya kian menggebu.
Sungguh aku tidak mengerti sikapmu.
"Wah, lega rasanya, bisa..." Dan dia mengakhiri kalimatnya dengan ekspresi puas, diulas senyum lebar.
Sungguh tak sopan manusia satu ini. Selesai buang hajat malah pamer!

Perjalanan berlanjut. Hanya bunyi mesin yang kudengar. Jalan berkelok-kelok, mendaki, menurun, bergelombang. Belum mati juga, dia.
"Merokok?"
"Terima kasih. Kata orang merokok bisa memendekkan umur," jawabku berusaha ketus. Maksudku agar dia mengerti bahwa sebetulnya aku keberatan kalau dia merokok.
Ajaib dia malah tertawa terbahak-bahak.
"Hebat benar, Tuhan bisa dikalahkan oleh rokok..." dan gelak tawanya kian nyaring di malam sunyi ini.
Sinting, dia membawa-bawa nama Tuhan demi sebatang rokok sialan itu.
"Anak saya lima. Yang besar sudah SMA, Mas?"
Ampun, siapa yang mau tahu keluarganya? Mau punya anak selusin pun, aku tak peduli. "Belum kawin...," jawabku lesu.
"Lho, saya pikir Mas ini suaminya Mbak Desy?"
Nah, nah...bagaimana mungkin dia tahu namamu? Bukankah kau pun tak mengenalnya? Bagaimana mungkin dia tahu bahwa namamu Desy dan aku adalah pasanganmu? Jika bukan ada apa-apanya, tentu tak mungkin dia tahu banyak tentang kita.
"Pak Mahmud bilang bahwa Mas ini suaminya Mbak Desy. Jadi, bukan? Maksud saya, belum menikah?" Dia pun terbahak lagi.
Lihatlah, Des, lihat... ah, seandainya saja kau bisa menyaksikan bagaimana laki-laki besi ini tertawa geli. Dia mengejekku. Dia menertawakanku. Bukankah ini sebetulnya maksudmu "melemparkan"-ku kemari? Agar aku jadi bahan tertawaan orang lain? Oh, Desy, Desy... aku semakin tak mengerti mengapa kau menyukai cara-cara aneh untuk menghina calon suamimu sendiri?
"Mumpung masih muda, kawinlah Mas. Maaf usia Mas berapa?"
Hmmm! Mau apa dia tanya-tanya umurku? "Empat puluh."
Dia diam. Kurasa dia tak percaya atau angka empat puluh merupakan angka keramat baginya. Dan, Desy, inikah caramu agar aku dicerca oleh orang lain? Bukankah sudah menjadi keputusanmu bahwa selisih usia kita yang nyaris dua puluh tahun ini bukan soal untuk berumah tangga? Lalu, mengapa kau selalu menggiringku ke dalam bubu jebakan, agar setiap orang mempertanyakan masalah usia kita?
Apa rencanamu sebetulnya di balik ini semua?

Jam 11 malam landrover berhenti di depan sebuah rumah panggung. Sunyi dan gelap mengepung. Untunglah bulan masih mau membagi sinarnya. Bulan tanggal berapa sekarang, mengapa belum bulat penuh?
Mungkin, karena mendengar derum mobil, si tuan rumah membuka pintu. Seorang laki-laki besar, bercelana jins berkaos hitam, tegak di ambang pintu. Cahaya menyeruak menginginkan kebebasan.
"Belum tidur, rupanya, Pak Mahmud..."
"Itu Mahmud?" namun aku segera sadar bahwa tadi aku mengaku mengenalnya selama 10 tahun. Dia tentunya --seharusnya curiga dengan ucapanku. Tapi, ah, si bodoh ini hanya diam saja. Mungkin dia mengantuk atau tak peduli.
Dia turun tangga menyambutku. Hangat. Genggaman tangannya kuat sekali dan sebaris gigi besarnya menyeringai. Bahagia betul dia menemukan korbannya!
"Kenapa lama sekali, Din?" ucapnya di sela-sela senyumnya.
"Maaf Pak, tadi..." Si Din menepuk-nepuk perutnya sendiri sambil meringis. Mahmud tergelak.

Paginya, aku terbangun dengan badan dirajam lelah. Maklumlah, semalam aku tak makan dan langsung tertidur, begitu Mahmud membukakan kamar untukku. Kubuka jendela kayu dan... Tuhanku, engkau pasti tersenyum ketika menciptakan alam ini. Gunung-gunung berlapis-lapis, berkelambu kabut yang membuatnya kian menipis. Bebukitan menggunduk di sana-sini, menyembul di antara padang rumput, pepohonan dan bebatuan besar. Dan di leher-leher bukit itu, kabut tipis melayang perlahan, layaknya kain panjang seorang jelita putri di negeri dongeng. Kuda-kuda merumput tenang, bersama sapi dan kambing. Di manakah aku saat ini? Belum pernah kusaksikan keramahan yang menyejukkan jiwa, seperti di tempat ini.
"Mari sarapan dulu, istri saya sudah menyiapkan." Tiba-tiba suara yang kukenali membuatku tersadar dan melihat arloji. Jam sembilan!
"Mmm... ini waktu Indonesia Bagian Tengah. Jamnya pasti belum disesuaikan."
"Oh...," berarti aku harus mengubahnya menjadi jam sepuluh! Astaga, aku terbangun jam sepuluh! Berarti lelap sekali tidurku.
Sambil makan, Mahmud berkata tentang sesuatu yang akan kucari itu. Memang, dia bilang bahwa kayu itu tumbuh hanya di daerah ini, namun tidak semua orang bisa mencarinya. "Adanya di hutan dan hanya orang tertentu yang bisa menemukannya."
Aku berhenti menyuap. Gagal sudah harapanku.
"Untuk apa, sih, Mbak Desy mencari kayu itu?"
"Mmm... ini memang permintaan paling aneh.. Katanya untuk persyaratan mas kawin..."
Tanpa kuduga, Mahmud tertawa. Suaranya lantang memenuhi ruang-ruang di rumahnya. Sesaat dia tersedak. Minum. Lalu melanjutkan gelak tawanya lagi.
"Ya, ya... saya mengerti. Itu permintaan aneh, dan lebih aneh lagi, saya menurutinya. Saya harus ambil cuti dan...di sini ditertawakan orang," ucapku putus asa.
Mahmud berhenti tertawa tiba-tiba. "Oh, maaf, maaf...saya tidak menertawakan Mas. Saya hanya tak menyangka bahwa kayu itu begitu berharga bagi orang Jakarta. Itu saja. Jangan khawatir, saya akan membantu mencarikannya, jika memang sepenting itu." Dia lalu mengangkat HP-nya. Gila. Di lambung gunung seperti ini, HP-nya masih berfungsi.
Aku terdiam. Siapakah engkau, Mahmud?

Aku tiba-tiba diserang hawa aneh yang membuatku berubah pikiran. Ucapan Mahmud yang sungguh-sungguh itu membuatku berpikir tentang semua yang tengah kulakukan ini. Aku yang semula percaya padamu, Des, tentang syarat yang kau ajukan itu, dan itu kubuktikan dengan kesungguhanku berangkat, tiba-tiba menjadi ragu, karena setelah kupikir, mungkin ini hanya alasan penolakanmu atas lamaranku. Namun, ketika kau pun agaknya meragukan permintaanmu sendiri, sementara aku jadi kian menggebu berangkat, aku mulai bimbang dengan semua ucapanmu. Dan ketika sesampai di tempat ini, bicara dengan Mahmud, aku...ah, entahlah.
Bagaimana jika kayu itu memang kutemukan? Aneh. Gila. Nonsense.
"Ada, Mas."
"Apanya?"
"Kayunya. Mau seberapa panjang?"
Aku terdiam. Terus terang, aku tak punya kesiapan untuk itu.
"Kalau mau dimasukkan tas, ya, paling-paling 50 cm cukup, kan?"
Aku masih diam. Jadi, kayu itu memang ada dan bisa kumasukkan tasku. Ah, gila. Terus, aku harus bagaimana? Setelah kayu itu ada di tanganku dan itu mencukupi syarat perkawinan kita, Desy? Aku harus bagaimana?
"Maaf, tapi permintaan Mbak Desy memang agak langka. Soalnya, biasanya yang minta kayu itu adalah seorang dukun." ujar Mahmud sambil tersenyum, dan tangannya mencolek ikan goreng.
Dukun? Ah, skenario apalagi yang kau kembangkan untuk lakon kita, Desy?
Ahh, aku tak tahu lagi, apakah setelah berjam-jam waktuku hilang di jalan, dengan berbagai rajaman pikiran meninggalkanmu, cutiku yang terbuang sia-sia, dan kayu yang memang ada itu, kemudian..."dukun"? Aku tak tahu lagi apakah aku masih punya sisa tenaga untuk mengawinimu, Des? Terus terang aku lelah mendengar bisik-bisik yang selalu menggaung di kepalaku ini. Aku ingin berhenti. Aku ingin agar bisikan itu berhenti dan aku bisa lebih tenang menjalani sisa lakonku sendiri.

Kamis, 23 Juni 2011

Naskah Monolog Rumah dan Tetesan Karya Riris K. Toha

Cuplikan Naskah Monolog Rumah dan Tetesan Karya Riris K. Toha.
MENEGASKAN PADA DIRI

Ada istri yang mencincang suami dengan uang , dan aku tahu banyak saudara yang terpisah hanya karena persaingan. Inilah yangdikatakan para cendekia kegagalan rumah tangga, ketakberuntungan keluarga.

MERENUNG

Mestinya, aku adalah salah satu darinya. Ibu gagal karena tak bisa mengurus anak, tak sanggup  mengatur belanja dan memolisi rumah tangga

Inu rumah tangga. Ini lagi.

SEOLAH MEMAHAMI

Ibu yang harusmu tinggal di rumah dan suaminya pergi ke luar. Ibu yang wajib mengurus dan menemani anak-anaknya, memandikan dan mengobatinya kalau terluka. Terus terang, aku menampar dan melempar anak yang menangis. Aku terganggu kebisinganya.

TERSADAR

Bukankah aku ibu dirumah yang harus tenang? Mungkin itulah sebabnya aku dimasukkan ke dokter dalam kategori ibu rumah yang kalah. Karena tak kuasa memahami anak. Gapang panik kala suami terlambat pulang. Ih, enentu ,yang lebih tahu, dan suka berkata tanpa periksa.

KEPADA PENONTON
Ini,satu contoh yang aku berikan pada dokter waktu itu. “sekali aku sedang bekerja tak perlu kamu tanya apa dan bagaimana Si Amat merengek minta  ke belakang. Lalu tanganku menunjuk tempat ke mana ia harus mengantar kepentingannya itu.  Dia ingin ku antar sendiri. Sehingga mulailah dia merengek. Rengekannya menjengkelkan,  namun kepalaku tetap menekuni pekerjaanku sendiri, dan tak peduli pada tangisannya. Setelah lama-kelamaan suaranya  menghilang, akupun lega. Tetapi di tengah bekerja dan berpikir, tiba-tiba bau kotoran memenuhi ruangan dan tentu saja aku naik pitam. Kataku. Siapa yang menyuruh kamu berak di celana ? jawabannya lirik : “Ibu”

Disitulah aku tersadar. Rupanya hentakan tanganku yang keras dan tegang telah mengingatkannya pada dongeng sebelum tidur yang pernah kuperagakan asal-asalan.

Download Naskah Monolog Rumah dan Tetesan : Disini

Naskah Drama Pakaian dan Kepalsuan

Berikut ini adalah Naskah Drama Pakaian dan Kepalsuan Saduran Achdiat K. Mihardja dari cerita Sandiwara Rusia "The Man With The Green Necktie" Karya Averchenko.

Para Pemain Naskah Pakaian dan Kepalsuan
SAMSU
pedagang
MAS ABU
pegawai negeri
SUMANTRI
pemimpin politik
RATNA
istri Sumantri
HAMID
penganggur dan bekas pejuang
RUSMAN
penganggur dan bekas pejuang
PELAYAN dan yang lain-lain

Cuplikan Dialog Naskah Drama Pakaian dan Kepalsuan
MAS ABU 
Hasilnya? Pasukan musuh itu mampus semuanya, dan senjata-senjatanya kami rampas semuanya... Ahm kalau aku terkenang lagi kepada pertempuran-pertempuran seperti itu, kadang-kadang aku ingin kembali ke jaman revolusi itu. Sungguh mati saudara-saudara, bukan sombong.

SAMSU
(Sambil Makan Kroket)
Ya, ya, aku bisa mengerti, sebab akupun begitu juga.

SUMANTRI
(Sambil Mengudek Kopi Susunya)
Saudara dimana ketika itu?

SAMSU 
Saya? Saya ketika itu berada di lereng Gunung Galunggung. Saya pun memimpin satu pasukan.

SUMANTRI
Kukira saudara, memegang bagian perlengkapan.

SAMSU 
Memang. Tapi ketika ada peperangan, saya beranggapan., bahwa saya akan lebih berjasa untuk nusa dan bangsa, kalau ikut bertempur memimpin suatu pasukan daripada mencari ban mobil atau mesin tulis dan kertas karbon.

Dan pertempuran-pertempuran macam yang diceritakan oleh Mas Abu itu, di daerahku sendiri hampir tiap hari terjadi. Satu kali saya masih ingat ketika hari jumat, yaitu ketika orang-orang dari kampung kami baru pulang dari mesjid, tiba-tiba diserang oleh sebuah pesawat pemburu yang sambil melayang-layang sangat rendah memuntahkan peluru-peluru dari mitralyurnya, sehingga banyak sekali penduduk yang tidak berdosa mati konyol. Melihat keganasan musuh itu, maka aku tak tahan lagi. Kupasang mitralyurku, dan ketika pesawat itu rendah sekali terbangnya sambil menyirami tempatku dengan peluru, maka kubalas dengan semprotan dari mitralyurku yang semuanya kena sasaran, sehingga pesawat itu segera lari kearah utara sambil menggeleong-geleong miring kekiri miring ke kanan dn mengeluarkan asap dari ekornya. Terbakar ia, lalu jatuh entah dimana.

Coba saudara-saudara bayangkanlah betapa keadaan jiwaku, ketika aku menghadapi semprotan peluru yang mendesing-desing begitu deras sekitar kedua belah telingaku.
Takut? Sama sekali tidak. Seperti Mas Abu, akupun sudah mencoret perkataan takut itu dari kamusku.

SUMANTRI 
Saya pikir, memang untuk orang-orang yang sudah biasa menghadapi bahaya maut, perkataan takut ini sudah tidak ada lagi, untuk saya pun perasaan begitu itu sudah hapus.

(Hamid dan rusman berbisik-bisik lagi).

Semua pengalaman saudara-saudara itu sungguh seram. Tapi saya rasa lebih seram lagi apa yang pernah ku alami sendiri. Barangkali saudara-saudara belum mengetahui, bahwa di samping memimpin partai, aku selama memimpin revolusi itu bekerja sebagai seorang penyelidik.

Memang sebagai seorang politikus, kita harus pandai pula menjalankan pekerjaan penyelidik, karena sebagai politikus kita dengan sendirinya banyak musuh-musuh yang mau menjatuhkan kita karena politik memang sudah semata-mata berarti perebutan kekuasaan.

(Hamid dan rusman berbisik-bisik lagi.)

Kalau tidak awas-awas dan tidk hati-hati, kita mudah terjebak. Itulah maka seorang politikus harus pandai pula menyelidik. Tapi saudara-saudara tahu, apa syarat-syarat yang mutlak untuk menjadi seorang penyelidik?

Kesatu, otak kita harus tajam seperti pisau cukur.
Kedua, kita harus berani mati seperti orang gantung diri. Kalau kita bodoh dan penakut, jangan coba-coba kita mau menjadi penyelidik.
Kedua syarat itu berlaku juga sepenuhnya untuk kaum politik. Orang yang bodoh dan penakut tak usah ikut-ikut main politik.

(Hamid dan rusman berbisik-bisik lagi.)

Nah, pada suatu malam saudara-saudara, yaitu akibat pengkhianatan seorang kawan penyelidik yang tidak tahan uji ketika dia di tangkap dan disiksa oleh musuh, maka rumahku tiba-tiba digrebek dan aku tidak bisa meloloskan diri, lalu diangkut ke markas musuh.

File Naskah Drama Pakaian dan Kepalsuan :
 - File Tipe : Ms. Word

Semoga Pakaian dan Kepalsuan ini bisa membantu anda dalam menyelesaikan tugas atau garapan dan kami ucapkan selamat berproses semoga dalam Proses kretif tidak ada kendala apapun dan jangan lupa Baca juga Naskah Drama yang lainnya.

Rabu, 22 Juni 2011

Cerpen Batu Menjadi Karya Taufik Ikram Jamil

BATU MENJADI
Karya Taufik Ikram Jamil

Daerah kami menunggu takdir buruk; inilah sesuatu yang pasti, lalu mengapa masih ada ketakutan dalam menghadapi kepastian?

Entahlah. Tapi apakah yang dapat kalian rasakan ketika melihat bebatuan bergulung-gulung, bergerak cepat menerjang segala yang melintang, membujur lalu setiap halangan. Gulungan batu yang terus membesar dan membesar.

Apakah yang dapat kalian rasakan ketika melihat batu-batu melambung dari perut bumi. Batu-batu sebesar kelapa, tak kecil tentunya, tiba-tiba berlompatan ke angkasa, membuat garis tegak lurus, kemudian seperti membanting diri dalam gulungan batu-batu. Seterusnya, seterusnya, batu-batu tersebut membaur sebagai gulungan batu-batu yang terus membesar dan membesar.

Kalian lihatlah, bagaimana batu-batu yang sebesar kelapa, batu-batu yang melambung dari perut bumi tersebut, karena begitu banyaknya, seolah-olah membentuk diri menjadi semacam tirai raksasa. Tirai raksasa yang hidup, dengan bagian-bagian yang bergerak ke atas maupun ke bawah secara tegas. Disebabkan gerakan batu-batu itu cukup cepat, pergantiannya pun aduh mak begitu deras, sudah tentu ketinggian tirai tersebut susah dipastikan. Lebarnya tak mudah diukur, cukup sulit pula untuk dikira-kira.

Sementara di belakang tirai batu yang seperti hidup itu, tak begitu jauh di belakang, kalian akan melihat gulungan batu yang juga bergerak. Batu-batu itu bergolek cepat, sehingga membentuk diri sebagai gulungan raksasa yang berguling-guling seperti mengibaskan semua kemarahannya. Oleh karena batu-batu yang melambung, yang membentuk diri sebagai tirai raksasa, pada gilirannya jatuh atau bergabung pada gulungan raksasa itu, tentu sudah dapat dibayangkan bagaimana gulungan raksasa tersebut makin membesar bahkan kadang-kadang memanjat ketinggian tirai raksasa.

Berdirilah pada ketinggian, tak perlu terlalu tinggi memang. Apakah yang dapat kalian rasakan, pada bagian belakang dari batu-batu bergulung yang menjadi latar tirai batu tersebut, seperti membentang sebuah hamparan nan sayup. Kalian pasti akan menjulurkan kepala agar lebih berada di depan dari bagian-bagian tubuh kalian yang lain, seolah-olah dengan cara seperti itu, mata kalian akan dapat melihat lebih jelas --lebih terang. Mungkin ya, setidak-tidaknya kalian ingin meyakinkan penglihatan kalian. Mungkin tidak sekali, tidak dua atau tiga kali, malahan empat sampai delapan kali, kalian akan berbuat demikian. Apakah kalian akan menjadi lebih yakin atau tidak adalah sesuatu yang lain.

Mungkin diperlukan teropong, mungkin. Tentu pandangan yang terlihat akan lebih rinci. Akan kalian lihat, bagaimana hamparan batu tersebut tidaklah mulus. Tidak rata seperti hamparan biasa, sebaliknya berlubang-lubang dan bergelombang pula. Lubang-lubang dan gelombang-gelombang yang tak simetris, seperti sesukanya saja. Di pinggiran lubang tampak buhul-buhul, tampak seperti membengkak laksana pekong, laksana tokak, ya seperti kudis besar di badan manusia. Kalian kan menyadari gambaran itu, manakala di pinggiran lubang-lubang tersebut, juga di berbagai puncak gelombang batu, terdapat percikan berwarna merah dan putih. Selintas, selintas saja, kalian akan melihat perpaduan warna itu seperti mewujudkan dirinya sebagai darah dan nanah.

Tak mungkin pula mata kalian tidak berpaut pada warna gelombang, tirai, dan hamparan batu itu. Didominasi hitam, tidak begitu hitam memang, entah apa perasaan kalian melihat hal-hal itu semua. Ada pula kecoklatan yang membuat berbagai garis di dalam semua bentuk batu, sehingga pastilah mengisyaratkan sesuatu yang berat. Terkadang, warna kuning air terdapat pada beberapa bidang di hamparan batu yang tidak begitu sulit ditangkap oleh mata. Pada tirai batu dan gelombang batu, warna itu mungkin tidak setegas maupun sejelas demikian, cuma warnanya masih menyisakan perhatian pada gerak. Potongan-potongan warna kuning air mempertegas ada gerakan pada tirai maupun gelombang batu-batu tersebut.

Langit terlihat membiru seperti semua isinya secara serentak ingin menyaksikan apa-apa yang terjadi di bumi tanpa halangan sedikit pun. Sosok langit seperti ini terlihat bertaup dengan hamparan batu, membuat garis lengkung di ujung mata. Perpaduan warna biru dan kehitaman yang memuakkan, betul-betul memuakkan. Masuk akal kalau kalian merasa telah berada di mulut seekor binatang buas yang amat besar dan tinggal sekali glek, ajal pun sampai.

Kalian tentu tak mau membayangkannya lebih jauh. Tapi mata kalian masih berada pada langit yang terlihat te*****ng bulat --bagai tanpa pakaian, sehingga kadang-kadang bisa saja orang tidak mengenalnya-- sekurang-kurangnya merasa aneh untuk beberapa saat. Dalam pemandangan seperti itu, mungkin kalian sadar, betapa pentingnya awan yang menunjukkan keberadaan langit. Biru semata, sehingga keindahan langit menepi, tak jarang terasa begitu kaku bahkan mencekam.

Memang, sekali dua, ada beberapa kelompok awan bergelayutan. Tetapi warnanya agak kehitaman. Tentu saja warna tersebut berpadu dengan warna tirai, gelombang, dan hamparan batu di bawahnya. Perpaduan yang dibatasi oleh suatu jarak. Cuma jangan lupa dulu, awan hitam itu pun kemudian begitu cepat sirnanya. Seperti ada yang mengheretnya setiap kali muncul; mungkin anginlah itu, tetapi yang pasti, gerakannya tampak horizontal dalam satu arah yang senantiasa bervariasi --artinya pada kesempatan tertentu menuju selatan, tetapi pada kesempatan lain ke utara. Barat dan timur, juga menjadi tujuan angin.

Ya, seperti diheret dan awan mengikutinya dengan terpaksa. Maka tak heranlah kalau bentuk awan yang semula hampir bulat -mengumpul--kemudian menjadi memanjang. Perubahan bentuk yang diikuti oleh suatu tarikan gerakan yang horizontal. Tampaklah gerakan awan itu susul-menyusul, kemudian hilang dari pandangan. Meskipun demikian, kesan yang dibuat oleh gerakan awan tersebut tentulah cukup khas. Pasalnya, bagaimana pula orang dapat melupakan gerakan pada tirai batu yang vertikal tadi, seperti melambung dari perut bumi. Apalagi mengingat gerakan pada gelombang batu yang sejajar dengan gerakan awan walau lebih cepat, kesan persilangan warna dan gerak, tentu menjadi lebih kuat.

Apakah yang dapat dirasakan ketika dalam pemandangan semacam itu, hidung kalian menangkap bau yang lain, teramat lain. Mungkin bau benda yang terbakar, mungkin amis, mungkin anyir, antara busuk dan tidak. Harum? Bisa jadi ya, harum. Tapi pasti tak terus-menerus bau semacam itu menyumbat hidung. Ada kalanya bau amis saja, anyir saja, bahkan harum saja. Sekali waktu, semua bau menerpa hidung, tetapi di lain waktu, tak ada sebarang bau tercium pun. Mungkin bukan tak ada bau, lebih tepat dikatakan ada kalanya, hidung hanya menangkap bau normal dan begitu biasa kalian hirup sepanjang hari.

Angin selalu berganti arah pula, tak luput dari tugas menebar bau. Ketika udara bergerak tersebut menuju tempat kalian berdiri, sudah barang tentu bebauan begitu menusuk. Apa pun bau seperti menjelma sebagai benda yang panjang dan membentuk dirinya sesuai dengan bentuk wadah atau lembaga atau sosok yang disentuhnya. Maka jadilah setidak-tidaknya bau tersebut seperti lubang hidung, sehingga dirasakan kehadirannya secara fisik.

Merasakan kehadirannya secara fisik, mungkin kalian akan coba merabanya, memegangnya, dengan berbagai maksud. Ketika bau yang tak sedap memenuhi rongga hidung, kalian tentu bermaksud membuangnya jauh-jauh. Membantingnya di atas tanah, mengenyahnya ke mana saja asalkan bau itu hilang. Tetapi tidak, tidak. Meskipun kehadirannya dapat dirasakan secara fisik, bau tersebut tak dapat diraba, tak dapat dipegang. Sehingga harap maklum, kalau kalian tidak dapat menyingkirkannya, tidak mungkin meniadakannya. Cuma saja kalian terus berusaha untuk itu, sekurang-kurangnya menggisalkan hidung yang tak banyak membantu upaya tersebut.

Fuit... fuit...fuit...
Itu mungkin suara hidung kalian. Suara yang berkali-kali terdengar. Suara yang mungkin menambah keragaman suara di tempat itu, di tempat kalian berdiri. Memang, mana mungkin pula kalian menghindar dari suara-suara yang begitu saja --tanpa perlu bertanya-- kalian sebut sebagai suara yang diakibatkan oleh gulungan dan tirai batu.

Keletak, keletuk, tuk tuk, tak, keletak...
Buar...
Bum, bar, keletak, keletuk...
Pus... dar…
Keletas...tas...keletak...
Keletak, keletuk, tuk tuk, tak, keletak...
Bum, bar, keletak, keletuk...
Buar...
Pus...dar...
Siung...
Sing...
Buar...buar...buar...
Keletak, keletuk, tuk tuk, tak, keletak...
Keletas...tas...keletak...
Bum, bar, keletak, keletuk...
Buar...
Pus...dar...
Siung...
Sing...
Buar...buar...buar...
Grrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrr...
Dam...
Dam...
Dam...dam...dam...
Dam...
Dam...
...
Keletak, keletuk, tuk tuk, tak, keletak...
Buar...
Bum, bar, keletak, keletuk...
Pus...dar...
Keletas...tas...keletak...
Keletak, keletuk, tuk tuk, tak, keletak...
Siung...
hSing...
Buar...buar...buar...
Grrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrr...
Dam...
Dam...
Dam...dam...dam...
Dam...
Dam...
...

Ya, daerah kami menunggu takdir buruk; inilah sesuatu yang pasti, lalu mengapa masih ada ketakutan dalam menghadapi kepastian?

Sayang, kalian tidak bisa memerhatikan, mencium, dan mendengar, segala sesuatu yang terjadi di depan mata berlama-lama. Meski tidak perlu bergegas benar, tak perlu sigap benar, pastilah sekurang-kurangnya kalian begitu bimbang terhadap gulungan dan tirai batu yang akan sampai pada tempat kalian berdiri. Melapah kalian, menggulung kalian, membolak-balik kalian, mengayak-ayak kalian. Sampai semua tulang kalian hancur lumat, daging menjadi bubur cair --hampir menjadi kanji. Sampai tulang tidak bernama tulang, sampai daging tak bernama daging.

Mungkin tubuh kalian dilambung begitu tinggi, kemudian terhempas kembali ke bumi. Begitu kuatnya lambungan itu, begitu kerasnya hempasan itu, badan kalian pastilah akan terkelosop, ya seperti penanaman cerocok, jauh aduhmak jauhnya ke dalam tanah. Tak sekali, dua, tiga atau empat, entah berapa --pokoknya berkali-kali.

Kalian tak mungkin lagi dikenal, bahkan tak pasti lagi warna badan kalian yang menjadi bubur itu. Mungkin hitam, kecoklatan, kuning air, atau gabungan dari semua warna itu. Mungkin, bercak-bercak merah dan kuning air yang terlihat dari kejauhan adalah darah kalian. Hitam dan kecoklatan bisa saja bagian dari tubuh kalian yang sudah bercampur material-material lain, tak saja batu, tetapi juga tumbuh-tumbuhan, dan entah apa lagi. Lalu, dalam keadaan ini, berbagai bau tak dapat diuraikan lagi; entah busuk, entah amis, entah anyir, mungkin juga harum.

Tak mungkin kalian dapat mendengar suara itu lagi: Keletak, keletuk, tuk tuk, tak, keletak...Buar...Bum, bar, keletak, keletuk... Pus... dar... Keletas...tas...keletak... Keletak, keletuk, tuk, tuk, tak, keletak...Bum, bar, keletak, keletuk...Buar... Pus... dar... Siung... Sing... Buar... buar... buar... Keletak, keletuk, tuk tuk, tak, keletak... Keletas... tas...keletak... Bum, bar, keletak, keletuk... Buar... Pus...dar... Siung...Sing... Buar... buar.... buar... Grrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrr... Dam... Dam... Dam... dam... dam... Dam... Dam... ... Keletak, keletuk, tuk tuk, tak, keletak... Buar... Bum, bar, keletak, keletuk... Pus... dar... Keletas... tas... keletak... Keletak, keletuk, tuk tuk, tak, keletak... Siung... hSing... Buar... buar... buar... Grrrrrrrrrrrrr rrrrrrrrrrrrrrrr... Dam... Dam... Dam... dam... dam... Dam... Dam... ...Mana mungkin lagi kalian mendengar suara semacam itu karena suara tersebut mungkin saja berasal dari badan kalian yang berguling-guling dan terlambung-lambung.

Mana mungkin pula kalian tahu secara persis bagaimana gaya gerakan badan kalian yang bergulung-gulung atau melambung-lambung, juga mengenai warna, bau, dan bunyi, akibat itu semua. Apalagi benda-benda yang ikut bergulung-gulung dan melambung-lambung tersebut dapat dipastikan bukan saja bersumber dari badan kalian, tetapi sesungguhnya begitu banyak benda-benda lain. Hutan dengan berbagai isinya, sungai dengan berbagai isinya, bahkan alam dengan berbagai ragamnya, pun dilanggar bebatuan. Rumah, sekolah, jalan, kebun, kantor-kantor, tak luput dari terjangan batu-batu. Aduhai, sejumlah orang juga menjadi korban batu-batu.

Aduhai, apakah yang dapat kalian rasakan ketika mendengar cerita tentang sejumlah orang digulung-gulung dan dilambung-lambung bebatuan? Kalian tak percaya?

Mungkin kalian akan mengatakan, bukankah masih ada upaya untuk menghindar dari serbuan batu-batu tersebut. Suara gerakannya terdengar keras, bahkan dari jarak satu kilometer --di tempat kalian berdiri sekarang. Baunya tercium amat menyengat, apalagi dibawa angin. Pun waktu yang terbentang sejak kejadian batu-batu itu diketahui orang, tidak pula pendek. Semuanya dapat dijadikan tanda akan adanya ancaman.

Masih banyak alasan yang memungkinkan bagaimana ancaman tersebut dapat dihindari. Gulungan batu itu cepat memang, lambungan batu itu tinggi dan cepat sudahlah pasti. Tapi satu hal yang pasti juga, daya tempuh batu tersebut tidak laju, cukup lambat. Maka kawasan yang dilanda batu juga tidak segera meluas. Paling dalam satu atau dua jam, lahan yang dilanggar batu tidak sampai bertambah lebih dari lima meter. Gerakan dalam gulungan dan tirai batu itu seperti lebih dahulu memamerkan kekuatan dan kebuasan, baru kemudian melakukan tindakan dengan cara menutup lahan dengan dirinya sendiri.

Jadi, bukan sesuatu yang tiba-tiba. Tidak seperti terjangan air bah atau tanah longsor. Tidak seperti sambaran angin puting beliung di tengah lautan. Tidak, sekali lagi tidak. Masih tersisa begitu banyak waktu untuk menghindar. Dengan ketersediaan waktu itulah, kesigapan dan ketangkasan tidak dituntut benar untuk menghindarkan diri dari sergapan batu-batu tersebut. Itulah pula sebabnya mengapa kalian tidak perlu begitu cemas menyaksikan bebatuan tersebut dari jarak tertentu dengan kepastian tidak sebagai pelancong. Ya, kalian menyaksikan sesuatu yang unik, tetapi karena mengandung begitu besarnya ancaman, pemandangan tersebut tidak menempatkan dirinya sebagai obyek wisata.

Kalian tidak percaya, bagaimana sejumlah orang seperti dengan sengaja menyerahkan diri pada gulungan dan tirai batu. Seperti pada senja yang muram itu, keluarga Atan --ia dan istri, juga tiga anaknya-- digulung dan dilambungkan batu. Kami tak sempat menolongnya, bukan menolong karena keluarga Atan tidak pada posisi yang mengharuskan pertolongan, sehingga lebih tepat dikatakan tidak mampu mencegah mereka. Tapi masih sempat kami tangkap kalimat yang keluar dari mulut Atan:

Batu belah batu bertangkup
Telan kami sekali tangkup
Kami kempunan harta negeri

Aduhai, kalimat berlagu yang kami sebutkan keluar dari mulut Atan itu, memperlebar ketidakpercayaan kalian tentang bagaimana sejumlah orang, bahkan sekeluarga seperti menyerahkan diri pada gulungan dan tirai batu tersebut. Bukankah kalimat itu pernah ada dalam apa yang kalian sebut dongeng; bagaimana seorang ibu begitu kecewa dengan anaknya yang memakan habis telor tembelang pencarian si ibu. Begitu kecewanya, kempunan --tak dapat memenuhi keinginan terhadap sesuatu yang amat diinginkan-- sehingga perempuan tersebut menuju sebuah batu besar di ujung kampung sambil berucap: Batu belah batu bertangkup, telan aku sekali tangkup, aku kempunan telor tembelang.

Tak sampai di situ saja. Kalian akan menghubung-hubungkannya dengan berbagai cerita mengenai batu yang sempat kalian dengar ketika kecil dulu, menghantar tidur kalian sampai terlelap. Ada hamparan batu yang menyerupai berbagai peralatan rumah tangga, termasuk alat kelamin lelaki dan perempuan, sebagai lambang cinta abadi di pinggir Selat Melaka. Akan kalian ingat seorang lelaki yang disumpahi ibunya menjadi batu. Mungkin kalian teringat bagaimana burung-burung ababil menyerang Abrahah, juga bagaimana kota-kota yang dibangun dari lipatan batu-batu. Tak mustahil kalian terkenang sejumlah cerpen mengenai batu, di antaranya "Menjadi Batu" karya Taufik Ikram Jamil.

Kesimpulannya, kalian tidak percaya tentang keluarga Atan yang seperti menyerahkan diri pada gulungan dan tirai batu. Kalian akan katakan kami mengarut, mengada-ada tanpa maksud apa-apa. Lalu amat memungkinkan sekali kalian menafikan penglihatan, pendengaran, dan penciuman kalian terhadap gulungan maupun tirai batu; terhadap hal-hal yang kalian saksikan dengan alat indera kalian sendiri, bahkan saat kalian berada pada sebuah ketinggian --mungkin tidak begitu tinggi; terhadap apa yang kami sebut dengan istilah "batu menjadi". Kalian akan katakan bahwa apa yang baru kalian lihat, kalian cium, dan kalian dengar tentang batu sekarang merupakan endapan kisah di benak kami dari rangkaian peristiwa serupa pada masa yang begitu jauh dan tak mungkin terjadi kini maupun di sini.

Kalau sudah begitu, mana mungkin cerita ini dilanjutkan. Mana mungkin lagi diceritakan asal-muasal gulungan dan tirai batu itu. Mana mungkin kan?

Naskah Drama Penjual Bendera Karya Hermana HMT

Cuplikan Dialog Naskah Drama Penjual Bendera Karya Hermana
SOMPENG
Tapi kain apapun cepat lapuknya dan lama-lama juga habis dimakan rayap. Karenanya orang-orang mencari bahan lain supaya bendera tahan lama.
GARENG
Bendera apapun dapat saja lapuk dan habis. Tapi pohon kapas terus tumbuh. Yang lapuk diganti. Nah, kita akan berdosa apabila kapas masih ada tapi tidak berusaha mengganti bendera yang telah lapuk.
Hal ini sudah kukatakan berkali-kali pada kawan-kawan seperjuangan di Gedung Kebangsaan, tapi malah mereka mencurigaiku. Aku harus terus berjuang mempertahankan bendera ini dari kain. Kain terbuat dari kapas.
SOMPENG
Apa gunanya bertahan saat ini, bang. Bertahan atau tidak, melawan atau tidak, setuju atau tidak, semuanya akan tetap berjalan seperti yang telah mereka gariskan.
GARENG
Tidak. Pak Sekjen di Gedung Kebangsaan adalah satu-satunya orang yang memahami maksudku. Karena itulah dia memesan bendera ini kepada kita.
SOMPENG
Apa ruginya kalau bendera dibuat dari bahan selain kapas. Ah, abang selalu saja bertahan pada persoalan-persoalan sepele.
GARENG
Sepele katamu? Sepele? Uh, Sompeng. Sompeng. Kalau aku masih jadi intel sudah aku isukan kau anti revolusi, anti perjuangan! Biar kau rasakan akibatnya! Untung aku sudah pensiun.

File Naskah Drama Penjual Bendera :
 - File Tipe : Ms. Word

Semoga Naskah Drama Penjual Bendera Karya Hermana HMT ini bisa membantu anda dalam menyelesaikan tugas atau garapan dan kami ucapkan selamat berproses semoga dalam Proses kretif tidak ada kendala apapun dan jangan lupa Baca juga Naskah Drama yang lainnya.

Selasa, 21 Juni 2011

Cerpen Biarkan Anakku Menjadi Karna atau Musa Karya Tjahjono Widijanto

Biarkan Anakku Menjadi Karna atau Musa
Karya Tjahjono Widijanto

Semenjak kelahiran anak kembarnya, perempuan itu tak pernah dapat tidur dengan nyenyak. Laki-laki dan perempuan, dampit! kata orang. Sebuah kelahiran yang langka. Di desanya memang ada juga yang melahirkan bayi kembar. Tapi semuanya laki-laki atau semua perempuan. Sedangkan bayinya laki dan perempuan. Yang lahir duluan laki-laki, selang tujuh menit kemudian baru yang perempuan. Kata orang-orang tua bayi kembar yang lahir duluan justru yang muda karena yang tua keluar belakangan mengiringi adiknya.

Ia tak begitu peduli siapa yang lebih tua dari keduanya. Yang jelas kelahiran itu membuat jiwanya berubah drastis. Tak lagi dirasakan sempit rumah gedeknya, juga air hujan yang menetes persis di samping dipan tempatnya tidur dan di pojok-pojok dinding kamar. Tubuhnya ringan, wajahnya sumringah, tak ada sisa sakit sedikit pun. Rasa nyeri dan pegal-pegal saat mengejan mengeluarkan dua orok itu dari rahimnya hilang begitu saja.

"Wahyu ini akhirnya datang juga," bisiknya sambil mengelus dua bayi kembar itu. Ia ingat betul bagaimana melewati masa-masa nyidam dulu. Semenjak kandungan perutnya berusia dua bulan tak pernah sekalipun perutnya mual dan muntah-muntah. Tak juga diingininya buah mangga atau rujak yang asam seperti biasa dialami perempuan hamil. Tak juga merasa pusing-pusing atau lesu. Hanya ia menjadi sangat gemar berjalan-jalan. Bukan berjalan-jalan di sawah atau di jalan-jalan desanya, tapi di sungai. Ia betah duduk berjam-jam di pinggir sungai. Memandangi warna sungai yang kini kecoklatan tak lagi jernih sepeti masa kecilnya dulu. Diperhatikan pula riak-riak sungai sambil berpikir tentang makhluk dan benda-benda di dalamnya. Mengusap-usap pasir dan tanah pinggir sungai dengan lembut sambil membayangkan masa kecil bersama kawan-kawannya membuat rumah-rumahan atau betengan ketika air sungai surut.

Hampir tiap malam ia bermimpi. Bapaknya yang sudah lama mati menanggap wayang untuk menyambut kelahiran bayi yang dikandungnya dengan lakon Karna Lahir. Tokoh yang menjadi idolanya sejak kecil. Satriya tampan putra matahari dengan wajah bersinar, prajurit pilih tanding sakti luar biasa. Putra yang disusui air sungai, dibesarkan arus dan lumut-lumut serta berkawan batu sungai hitam diam perkasa. Mimpi itu diselingi dengan mimpi yang lain. Bapaknya datang dan mendongengi dia tentang bayi Musa yang dihanyutkan dalam sungai kemudian menjadi nabi bersenjata tongkat, pahlawan pembelah laut yang menenggelamkan seorang raja yang lalim.

Ia benar-benar merasa bahagia dengan mimpi itu. Itu pasti wangsit, demikian pikirnya. Ada kebanggaaan yang diam-diam menggunung dalam dadanya. Ia merasa menjadi perempuan pilihan yang rahimnya dititipi Tuhan bayi yang kelak menjadi orang yang terpilih, seperti Kunti yang dititipi Karna, atau Maria yang dititipi Isa. Satu dari sekian juta perempuan di seluruh jagat.

Kebanggaan itu membuatnya lupa pada pandangan sinis tetangga-tetangga yang mencibir dan menggunjing tentang bapak dari bayi itu. Juga membuatnya melupakan laki-laki dengan alis tebal dan mata sedikit juling yang kali terakhir merayu lalu menidurinya. Keinginannya untuk mencari laki-laki itu amblas begitu saja ketika memandang bayi dampitnya. Tapi ia tak menyesalinya. Lelaki memang ditakdirkan untuk menjadi pengecut! Pikirnya dalam hati.

Sebenarnya ia sedikit bingung. Kenapa wahyu bayi itu tidak satu tapi dua dan satunya perempuan? Bukankah Karna, Musa, atau Isa, semua tokoh-tokoh itu laki-laki? Tapi mengapa pasangan bayinya perempuan? Kenapa dua-duanya tidak laki-laki? Ia berpikir keras. Tiba-tiba ia teringat Srikandi, tokoh ksatriya wanita titisan Amba yang mampu mengalahkan Bisma, panglima besar Kurawa yang sakti mandraguna. Akankah kelak bayi perempuannya itu menjadi tokoh besar juga? Tapi mengapa dalam mimpi bapaknya hanya bercerita tentang Karna dan Musa? Bukan Srikandi, Sembadra, atau Dewi Durga, misalnya?

Bayi perempuannya itu diperhatikannya memang lebih lincah dan agresif dibanding saudara laki-lakinya. Lebih sering rewel, tidak bisa tenang, dan rakusnya bukan main. Kalau menyusu lidah kecilnya mengecap-ngecap dan menghisap amat kuat. Putingnya jadi sakit. Tidak cukup puting sebelah saja tapi berpindah-pindah puting kiri ke puting kanan berganti-ganti. Kalau melihat saudara laki-lakinya sedang menyusu ia menjerit keras-keras dan kakinya menyepak-nyepak saudara kembarnya itu. Ini membuat kesal karena ksatriya mudanya jadi ikut menjerit dan menangis. Kesalnya makin bertumpuk ketika menyadari alis, hidung dan bibir bayi perempuan itu mengingatkan pada alis, hidung dan bibir laki-laki yang sangat dikenalnya.

Pagi itu ia hanya mengangguk ketika seorang wanita menyambangi di pembaringan dan mengutarakan niatnya mengambil bayi perempuannya. Katanya ia punya tujuh anak yang semuanya laki-laki dan pingin punya anak perempuan satu saja. Ia jadi teringat kata orang-orang bahwa bayi dampit harus dipisah karena kelak mereka akan bertemu dan berjodoh sendiri. Cuma mengangguk pula ketika wanita itu pamit sambil menyelipkan sebuah amplop di balik bantalnya.

Ketika wanita itu sudah meninggalkan rumah, dielus-elusnya kepala bayi laki-lakinya dan tersenyum lebar, "Anakku, ternyata takdir telah menjalankan tugasnya dengan sempurna. Kini tinggal kau santriya mungilku. Karena memang harus hanya kau yang terpilih bukan yang lain. Juga tidak saudara kembarmu. Biarlah dia berjalan atas takdirnya sendiri. Siapa tahu kelak dia benar-benar jodohmu." Perempuan itu makin lebar senyumnya. Dibayangkannya betapa menakjubkan bila Karna menikah dengan Srikandi. Itu tentu tak pernah terbayangkan oleh dalang yang paling usil sekalipun.

Saat matahari tepat di puncak menerobos atap genting yang bolong-bolong perempuan itu bangkit dan berkemas. Dibungkusnya bayinya dengan sobekan kain sarung, satu-satunya peninggalan lelaki yang dulu pernah menidurinya. Ditimang-timang sebentar dan pada telinganya dibisikkannya sebuah kalimat pendek: "Anakku, tiba saatnya kau menjalani laku ini. Akulah Kunti yang menyerahkan nasibmu pada asuhan semesta…."

Tengah hari. Pertengahan bulan November. Sebuah stasiun tv swasta dalam acara tayangan kriminal menayangkan seorang perempuan di sebuah tempat di Jawa Tengah ditangkap karena membuang bayi yang baru dilahirkannya ke dalam sungai. Menurut penuturannya, bayi itu dibuang karena ia melarat dan tak punya penghasilan tetap, sedangkan laki-laki bapak dari bayi itu tak bertanggung jawab.

Ngawi, 2003/2004
Catatan: Tjahjono Widijanto adalah sastrawan asal Ngawi. Dia punya saudara kembar yang juga sastrawan bernama Tjahjono Widarmanto.

Senin, 20 Juni 2011

Naskah Monolog Mayat Terhormat Karya Agus Noor dan Indra Tranggono

Cuplikan Monolog Mayat Terhormat
Penjara… Kuburan…apakah yang membedakan keduanya? Barangkali tak ada. Setiap orang tak ada yang ingin memikirkan keduanya. Berusaha sedapat mungkin tak bersentuhan dengannya. Orang tak ingin berhubungan dengan kuburan, karena selalu mengingatkan pada kematian. Dan orang tak mau berurusan dengan penjara, karena juga sering kali berujung kematian…

Dengan payah, ia berusaha bangkit, kembali menerawang keluar jeruji, memukul-mukul piring seng, kemudian bergerak pelan ke arah bibir panggung, dan suara musik yang sayup perlahan menghilang, bagai angin yang bergerak menjauh…Kepada penonton
Anda pasti membayangkan, kalau saya ini tokoh besar. Tokoh oposisi yang ditangkap kemudian dipenjarakan. Ya, setidaknya seorang demonstran militan. Wouw…betapa gagah dan mulianya prasangkaan saudara itu. Semestinya, saya ini harus merawat kesalahpahaman itu sebaik mungkin, agar saya bisa sedikit terhibur. Sehingga diam-diam saya ini bisa merasa bahwa diri saya ini memang orang penting, orang besar yang selalu ditakuti penguasa.

Tapi, sebentar…(Mencermati sosoknya sendiri) Saya kok ya curiga, jangan-jangan saya ini memang orang besar,…. Setidak-tidaknya ada yang besar di dalam diri saya…. Iya lho, jangan-jangan saya ini benar-benar pemberani, militan dan cerdas. (Siwi meminta konfirmasi pada pring yang tergolek di lantai, lalu mematut diri seperti orang bercermin) Iya kan ? Coba lihat, setidaknya saya ini punya potongan sebagai pembangkang.. (Bertanya kepada piring) Pantas kan saya jadi pembangkang ? Soalnya, jadi pembangkang itu ternyata ada enaknya: kalau nasib baik, bisa terpelanting naik jadi penguasa atau setidak-tidaknya jadi petinggi negara. Perkara sesudah jadi penguasa lalu lupa berjuang, itu bukan soal pengkhianatan. Bukan. Itu justru menunjukkan sikap Konsisten untuk selalu tidak konsisten….(Pause)

Tapi celakanya, saya ini cuma seorang juru kunci. Kekuasaan saya cuma sebatas kuburan dan tulang-tulang berserakan. Itupun cuma juru kunci kuburan umum. Tentu, nasib saya akan jauh lebih baik, misalnya, kalau saya ini juru kunci Taman Makam Pahlawan. Sebab, menjadi juru kunci Taman Makam Pahlawan tentu lebih prestisius dan memiliki banyak privilige. Lha ya jelas, lha wong yang diurusi itu jazad para pahlawan.Ingat…p a h a l a w a n (sambil menggelembungkan mulut). Meskipun yang disebut pahlawan itu lebih pada orang-orang yang memegang senapan. Istilah yang digunakan saja beda. Kalau orang bersenapan yang mati maka ia disebut gugur dalam tugas: Gugur satu tum uh seribu, tunai sudah janji bhakti…. Lho mati saja ada lagunya. Coba kalau orang biasa yang mati, paling banter disebut meninggal. Apalagi kalau hanya kere yang mati, maka dengan semena-mena ia disebut tewas atau koit atau bahkan modar. Kok nggak ada ya kere mati disebut gugur dalam tugas. Padahal seorang kere pun pada galibnya juga punya tugas mulia…, karena kemuliaan itu ada ukurannya sendiri-sendiri, tergantung bagaimana kita memaknai kemuliaan itu,…..meskipun ya kebangetan jika tiba-tiba ada kere yang merasa benar-benar mulia. Gila masyarakat kita ini, ternyata masyarakat mayat pun disekat-sekat oleh kelas, tergantung dari status sosialnya. Dan sejarah yang ditulis para pendekar, cenderung menganggap senapan sebagai ukuran kepahlawanan. Bukan pada kecemerlangan otak, ketulusan pengabdian, dan ketegaran integritas dirinya.

Tapi, saya tidak ambil peduli. Meskipun mayat-mayat yang saya urusi tidak dikategorikan sebagai pahlawan, saya toh bangga. Bangga sekaligus terharu, karena mayat-mayat yang saya urus tak pernah mengeluh, meskipun tempat persemayamannya…panas, gerah, sumuk,….Mereka tidak minta AC untuk ruang kuburnya. Sangat berbeda dengan mayat-mayat di kuburan Senayan, baru sekali saja jadi mayat, sudah macem-macem menuntut ini-itu, minta kenaikan gaji…

Download Monolog Mayat Terhormat : Disini

Naskah Monolog Aku Sang Presiden Karya Hermana HMT

Cuplikan Naskah Monolog Aku Sang Presiden Karya Hermana HMT
Abaikan! Itu hanya sepercik masa lalu. Aku enggan membicarakan lebih panjang lagi. Masa lalu bagiku tidak berarti apa-apa, jadi tidak pinting untuk di bicarakan kembali. Semuanya sudah kukubur dalam-dalam pada lubang-lubang yang gelap dan tak berdasar. Sekarang aku lebih suka memikirkan hari ini, besok dan yang akan datang. Aku Gus Sar yang selalu siap menerima tantangan. Gus Sar yang selalu menjadi buah bibir di kalangan pengusaha skala nasional. Gus Sar yang terkenal pemilik pondok pesantren. Gus Sar yang selalu memberikan sedekah pada ribuan pakir miskin disetiap ahir pekan. Dan terakhir adalah Gus Sar sang presiden.

Tunggu, tunggu! Aku sang presiden? Siapa  bilang aku sang presiden? Aku sendiri atau c Oh, ya. Mereka memanggilku Gus Sar sang presiden. Betul. Presiden bagi para bajingan. Jangan terkejut! Memang itulah jabatan terakhirku saat ini. Aku sang presiden bagi para penjahat. Perlu kujelaskan semuannya? Kayanya harus. Jangan bilang siapa-siapa! Aku sebagai sang presiden lebih penting dibicarakan daripada membicarakan kampanye capres dan cawapres atau pilgub. Tentu bukan berarti aku tidak peduli pada negara atau pemeritahannya. Aku cukup punya perhatian besar, karena bagaimanapun aku diuntungkan oleh negara dan pemerintah republik ini. Aku tutup dulu masalah presiden di kenegaraan, sekarang aku buka masalah kepresidenanku. Yang setuju tetep diam di sini, yang tidak setuju silangkan angkat kaki dan kita berjumpa lagi pada kesempatan yang lain, dalam tema dan pembicaraan yang lain pula.

Nah! Kembali kepersoalan aku sebagai sang presiden Eh.. kira-kira menginjak umur 12-18 tahun aku sudah ikut ayah menjadi buruh tani, dan nasibku tetap begitu-begitu saja, bahkan lebih buruk dari sebulumnya. Waktu itu jangankan keluarga kami, juragan-juragan sawah pun hampir senasib semuanya. Selain karena kemarau panjang, kondisi perekonomian negara sudah berada di puncak keterpurukan. Uang rupiah mengalami pemutongan nilai hingga 50%, ditambah oleh gerakan pengacau keamanan muncul di mana-mana. Amit-amit. Sebuah negeri yang menakutkan. Negeri hantu atau neraka jahanam? Sulit dijelaskan. Satu sama lain saling curuga, satu sama lain saling hujat, satu sama lain saling bunuh. Tak ada pegangan, tak ada kepercayaan, semua tenggelam dalam multi krisis.
O, ow ! Sebetar. Kayanya aku terjebak lagi untuk membicarakan masa lalu. Maaf, ini sedikit kekeliruan ! Kenapa pikiranku selalu mengarah ke sana ? Tapi tidak apa-apa, kan? Aduh, kacau juga. Bagaimana, ya? Oke ! Aku harus akui. Kita terlahir begini adalah buah dari sejarah perjalanan hidup. Jadi, sejarah itu memang penting. Ya, sangat penting. Dan sebelum berlanjut aku ralat dulu pernyatanku tadi. Mulai hari ini aku tidak akan melupakan masa laluku. Walau sepahit empedu, masa lalu adalah peningalan yang sangat berharga, cermin bagi kehidupan yang akan kita jelang.

Download Naskah Monolog Aku Sang Presiden : Disini

Minggu, 19 Juni 2011

Naskah Drama Orang Malam Karya Soni Farid Maulana

Cuplikan Dialog Naskah Drama Orang Malam Karya Soni Farid Maulana
KIMUNG
O, malam yang mengental oleh luka. Kini aku ingat semua kejadian itu. Pada suatu tempat yang kulupa, aku bertemu dengan dirinya.
Saat itu, sehabis kerusuhan, pada sebuah jalan yang sarat dengan pecahan kaca aku melihat pelipisnya berdarah, dihajar sebutir batu. Sejak itu, pertemuan demi pertemuan beranak-pinak.
Tapi perpisahan mengapa harus terjadi?! O malam yang dingin bagai uap es yang mengepul dalam kulkas, O bintang jatuh yang berkilauan dilangit jauh, nyala api yang menghanguskan perkampungan kumuh, O kau yang timbul tenggelam dalam ingatan, mengapa hidup harus berlembah dan berjurang kata-kata?!

DIRAH
Tidakkah kau bosan berkata demikian?! Betapa sering aku mendengar kau berkata-kata seperti itu. Seakan-akan tidak ada lagi yang pantas kau kerjakan. Alangkah cengengnyaengkau seperti orang yang baru putus cinta.

KIMUNG
Kau siapa?! Rasanya baru pertama kali aku didatangi oleh seorang wanita. Biasanya pada malam-malam seperti ini hanya bangku-bangku taman yang bisu menemaniku dengan seluruh kesepian dan kesunyian alam raya.

DIRAH
Aku bukan siapa-siapa.Boleh jadi aku pikiran buruk yang datang dari dasar kegelapan. Boleh jadi pula, aku bukan siapa-siapa bagimu.

KIMUNG
Apa urusanmu datang kemari?! Apakah disini, ditempat ini, ada sesuatu yang menarik perhatianmu?!

DIRAH
Aku datang ke sini untuk melepas lelah. Sungguh tak ada sesuatu apa pun yang menarik ditempat ini, termasuk dirimu.

KIMUNG
Memang aku tertarik padamu?! O, jangan mimpi. Ah, ah, ah. Aku tahu kini, kau pasri wanita kesepian, bukan?! Sudahlah, siapa pun kau, ada baiknya kau mendekat ke mari. Kau tidak akan marah bukan, jika aku bertanya padamu, apa yang menyebabkan engkau malam-malam sepeti ini datang ketempat ini sendirian?! Apakah suamimu tidak akan mencarimu?! Aku tahu jawabannya, kau pasti melarikan diri karena suamimu kawin lagi dengan orang lain?!

DIRAH
Buruk betul prasangkamu itu. Punya suami atau tidak, itu bukan urusanmu. Ini taman punyaku. Sering pada malam-malam seperti ini, aku duduk dibangku yang ini.
Disini, ditempat yang kau duduki ini, aku teringat masa laluku, akan api yang menghanguskan perkampungan kumuh.
Kau tahu, gedung-gedung megah itu berdiri diatas kuburan?! Dalam danau buatan yang indah itu, bila aku menyelam ke dasarnya segera kau dapatkan bangkai ribuan rumah kumuh seluas 4 desa.
Aku kesini bukan karena cengeng oleh masa lalu yang muram. Aku ke sini teringat oleh sebuah peristiwa kelam yang tidak bisa aku hapuskan begitu saja dari dasar ingatanku.

KIMUNG
Peristiwa kelam?! Tak ku sangaka seberat itu berton-ton nasib hitam menimpa pundakmu. Aku sering datang ke taman ini, tak pernah sekali pun aku bertemu denganmu. Apa engkau sedang tidak bersandiwara?!  Jangan-jangan kau intel yang gagal?!

File Naskah Drama Orang Malam :
 - File Tipe : Ms. Word

Semoga Naskah Drama Orang Malam Karya Soni Farid Maulana ini bisa membantu anda dalam menyelesaikan tugas atau garapan dan kami ucapkan selamat berproses semoga dalam Proses kretif tidak ada kendala apapun dan jangan lupa Baca juga Naskah Drama yang lainnya.

Naskah Monolog Anzing Karya Rachman Sabur

Cuplikan Naskah Monolog Anzing Karya Rachman Sabur
Maaf, saya mohon maaf… Gambar-gambar tak senonoh itu harusnya saya edit, demi menjaga martabat bangsa manusia dan anjing. Tap kalau kita kembali lagi bertitik tolak pada kepentingan penelitian, tentang pesamaan dan perbedaan antara manusia dan anjing khususntya, dan binatang pada umumnya. Adegan-adegan yang saudara-saudara saksikan tadi sebenarnya cukup senonoh dibandingkan dengan adegan-adegan atau peristiwa-peristiwa riil yang terjadi di masyarakat  kita dewas ini. Saya harap penjelasan ceramah saya tidak menyesatkan, karena saya bulan orang yang sesat.

Baik, untuk lebih jelasnya akan saya perkenalkan pada aktornya

PENCERAMAH MEMIJIT KEMBALI REMOTE CONTROL. TAYANGAN FIGURE ANJING-NJING MUNCUL SAMBIL MENGGONGGONG. LALU REMOTE CONTROL DI MATIKAN KEMBALI

dari uraian tentang perasaan

Nyonya-nyonya…
Dari uraian tentang persamaan dan perbedaan, antara anjing dan manusia… Dan manusia dan anjing, maka muncul pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut : apakah anjing? Siapakah manusia? Apakah manusia? Siapakah anjing? Apakah jantan itu? Dan siapakah berita itu? Kaukah itu ibu? Siapakah bapakku? Anjingkah? Manusiakah? Manusia menyalak. Anjing menagis. Anjing bersetubuh. Manusia berselingkuh. Manusia maling,. Anjing mengejar. Anjing tentara : “anjing siah!”….. kata manusia. Lalu kata anjing : ”manusia sial !”….”rakus siah!”…. “korup siah!”… “biadap siah”…”pembunuh siah!”… lalu kata manusia : “rabbies siah!”…. “kudisan siah!”….”Jorok siah!”….  “anjing siah!”… lalu kata anjing : “mentang-mntang siah!”….”jagah siah!”….”sesat siah!”…. “kanibal siah!”….lalu kata manusia : “tai siah!”….”tai anjingh siah!”…. lalu kata anjing : “Tuhan …. Kenapa ciptakan daku sehina ini?”…. “apakah manusia itu Tuhan?”…. “siapakah manusia itu Tuhan?”….

PENCERAMAH MENGENDALIKAN EMOSINYA

Nona-nona………
Maaf, saya jadi ngelantur begini, Ini disebabkan karena subjectivitas emosional saya yang labil, kadang saya mnjadi manusia, kadang pula saya menjadi anjing….. maafkan saya….

PENCERAMAH MEMIJIT LAGI REMOTE CONTROLNYA, GAMBAR ANJING-ANJING BERINGAS MUNCUL
Saudara-saudara……
Kalau kita membaca tentang teori-teori modern manusia…… Dan anjing…… Dan anjing dan manusia…… Dan seterusnya………

Download Naskah Monolog Anzing : Disini

Sabtu, 18 Juni 2011

Cerpen Agoni Pengantin Karya Dina Oktaviani

Karya Dina Oktaviani

Baiklah. Aku akan menikahimu. Meski alasan yang kita dapatkan hanya makin membikin engkau dan aku ragu.

Dalam ruang berbentuk lingkaran, orang-orang segera mengambil bagiannya dalam pesta. Menyantap semua yang selayaknya dihidangkan dalam perayaan. Di tengah-tengah mereka, pengantin perempuan memucat. Ia memandang pengantin lelaki dan berkata pada dirinya sendiri: inilah yang kauinginkan. Pengantin lelaki berdiri tegak tanpa kehilangan sedikit pun garis puas di wajahnya. Perempuan itu merasakan mual yang berlebihan meski tahu dirinya mandul.

Inilah yang kauinginkan. Mengapa rasa takut itu jadi milikmu sekarang? Berhari-hari sebelum hari kemarin engkau masih bisa berkata tidak pada siapa pun. Engkau menulis apa pun yang kauinginkan. Semua yang kauanggap benar adalah sungguh benar. Orang-orang memanjakanmu dengan larangannya dan engkau menghindar. Engkau bantah semua perkataan yang tak baik bagi kegelisahanmu. Engkau pun sendiri.

Tinggal di sebuah kamar di sebuah rumah di sebuah kota. Engkau memasak makanan yang baru bagimu. Makan siang mengganti sarapan yang selalu tertunda. Mendengar lagu-lagu dari penyanyi lama yang baru kausukai. Ada delapan baris rak penuh buku di kamarmu dan engkau mampu menyerap hanya dengan memandang punggung judulnya. Lantas engkau duduk saja di hadapan rak itu, meletakkan cermin ukuran wajah di mukamu. Memandangi bayangan sendiri sambil berulang-ulang menghisap rokok dan menuang air ke cangkir. Memikirkan sumber penghasilan baru. Membuat catatan-catatan berisi hutang-hutang kecil. Bosan, lantas kau mencoba menuliskan sesuatu yang belum pernah kautuliskan sebelumnya.

Waktu adzan kau tak melakukan apa-apa tapi mematung menatap cermin. Kadang kaukencangkan suara tape karena tahu tak ingin sembahyang atau menangis. Jika melintas bayangan penghuni rumah yang lain di jendela kamarmu engkau mengambil sebuah buku besar dan berpura-pura telah membacanya sejak lama.

Kalau datang semangat kau segera mandi sore-sore, menyiapkan isi tas dan pergi mengunjungi tempat-tempat yang kau kenal. Melihat orang-orang berlatih apa saja. Menonton pertunjukan yang gratisan. Duduk-duduk di kafe bersama beberapa kenalan sampai giliran makan. Jika kecewa dengan mereka kau pergi ke tempat yang tak dikunjungi kawan-kawanmu. Toko buku atau swalayan.

Engkau akan pulang larut malam. Melangkah menuju rumah sambil mendengar kasak-kusuk beberapa tetangga yang sedang main kartu di lapangan depan rumah. Kalau pulang lebih awal kau mendengarkan lagu-lagu kesukaanmu lagi sambil terganggu oleh para lelaki di luar yang bercakap soal politik dan kejahatan-kejahatan kecil di kampung. Makan makanan sisa siang atau keluar mencari cemilan.

Memegangi handphone, mengetik beberapa pesan, memilih nama-nama dan nomor-nomor dan lebih sering tak jadi mengirimkannya pada siapa pun. Saat putus asa atas pesan-pesan itu, kau menyimpan nomormu sendiri dengan nama "God" dan mengirimkan pesan-pesan itu ke nomormu sendiri. Sekejap saja pesan-pesan itu tiba di handphone-mu dan kau membukanya dengan dada berdebar: Tuhan mencoba mendekatiku!

Setelah bermain-main dengan pesan-pesan konyol itu engkau pun tertidur dengan sedikit paksaan fisik. Mulai lelap saat subuh datang dan berakibat bangun siang.

Sebulan sekali kau masih selalu bisa merasakan puncak kegelisahan itu. Ketika seseorang menyapamu lewat pesan-pesannya dan mengundangmu datang. Engkau pun menyiapkan kebohongan-kebohongan kecil bagi pemilik rumah untuk mendapat izin keluar tengah malam. Dengan rasa cemas buatan yang menjelma jadi nyata engkau menuju jalan raya dan menyetop taksi. Membuka pakaian luarmu dan memasukkannya ke dalam tas. Kedinginan. Tiba di sebuah hotel. Bertemu seseorang dari masa depan dan memasuki lift.

Engkau melakukannya. Mengulang-ulang sedikit adegan yang kau ketahui. Hampir setiap pukul dua pagi, usai menusukkan puncak kegelisahanmu ke dalam puncak kegelisahannya, engkau merengek lapar. Lelaki di sampingmu memesan makanan dan menggendongmu di punggungnya menuju meja makan. Kalian makan. Engkau memancingnya bercakap soal politik dan kebudayaan agar lelaki itu tak lupa bahwa engkau tak cuma datang membawa tubuh. Lelaki itu mengagumi kecerdasanmu lalu kelelahan dan tidur. Engkau bersikeras melelapkan diri di ketiaknya.

Begitulah engkau menikmati usia tujuh belasmu. Beberapa hari sebelum hari kemarin. Tetapi mulai hari kemarin engkau mulai terganggu dengan hidupmu sendiri. Engkau melihat anak-anak seusia yang bukan kawanmu menata masa depan yang lebih terang meski tak cemerlang. Engkau merasa mual ketika melewati kampus-kampus mereka. Engkau mengalami migrain melihat festival-festival band. Jantungmu berdegup tidak normal mendengar mereka tertawa di mana saja.

Engkau ingin merasa bahwa engkau memang bukan bagian dari mereka. Engkau ingin meyakinkan bahwa engkau telah jauh lebih lama hidup dan mengalami segala jenis kesepian dan masalah. Engkau ingin orang-orang melihatmu sebagai gadis tua yang angkuh saja. Agar mereka segan dan tak kasihan. Tetapi tidak bisa. Mereka semua tahu kau baru mengakhiri usia tujuh belasmu dan mereka tahu engkau terbuang. Engkau tak bekerja dan tak sekolah. Engkau tak bersuami dan tak bersama keluarga. Maka sebagian dari mereka memandangmu kasihan. Sementara orang-orang yang sadar bahwa engkaulah yang memisahkan diri, mengacuhkanmu.

Mulai hari kemarin engkau tak berharap ke hotel itu lagi. Pesan-pesanmu tak terbalaskan. Engkau menemukan kelaminmu mulai menebarkan bau busuk. Engkau pun sibuk menambalnya dengan bedak-bedak dan pembalut yang wangi. Lalu engkau mengingat ibu, mamas, mbak yu dan adik-adikmu yang jauh. Lalu engkau teringat bapak yang bertahun kauanggap bejat.

Lalu engkau mencari-cari nomor telepon teman-teman SD. Mendapatkan beberapa dan mengabarkan bahwa dirimu hidup sendirian dengan maksud agar mereka tahu bahwa dirimu sukses tanpa siapa pun. Tetapi engkau teringat ibu, mamas, mbak yu, adik-adik dan bapak yang bejat itu lagi. Tiba-tiba engkau merasa takut kalau-kalau suatu hari mereka menagih masa depan kepadamu. Apa yang dapat kaubawa pulang? Tetapi aku tak mau pulang, katamu. Tetapi tidak bisa begitu. Engkau pasti pulang. Mereka akan menuntutmu pulang sebelum engkau punya tempat pulang yang lain. Aku akan mengelak. Tapi mereka akan mengejarmu. Ke mana pun. Bagaimana pun.

Maka engkau teringat seorang lelaki yang mengenalmu sejak kecil. Lelaki yang pernah kauanggap sebagai bapak-bapakan. Yang tak pernah menimbulkan nafsu dalam tubuh dan pikiranmu. Yang hanya kepadamu bisa seperti pendeta dan mengasihimu sebagai putra Tuhan. Engkau memintanya menikahimu. Dia tercengang. Dia mengajakmu merundingkan alasan atas pernikahan kalian. Di antara banyak alasan yang mungkin ada, kalian hanya menemukan satu alasan yang membuat engkau dan, terlebih, dirinya ketakutan.

Engkau mengatakan dirimu takut menjadi sia-sia. Takut menjadi bukan siapa-siapa yang tak melakukan apa-apa bagi siapa-siapa. Pernikahanlah yang mampu menyelamatkanku dari situasi ini. Dengan menikah aku memiliki tempat pulang yang baru selain masa lalu.
***
Tapi hari itu pengantin perempuanlah yang memucat. Sementara orang-orang yang tak ada bedanya berkali-kali menyalami dan menyantap makanan, dunia pengantin perempuan dirampas masa lalu dan masa depan.

Setelah hari pesta pernikahan itu. Pengantin perempuan dan pengantin laki-laki menjadi tempat pulang bagi masing-masing keduanya. Perempuan itu selalu menceritakan kesedihan-kesedihannya di masa lampau dan ketakutan-ketakutannya akan masa depan. Ia tetap tak percaya diri atas hidup yang dilakoninya. Ia makin tak tahu harus berbuat apa. Ia tak perlu melamun lagi. Ia tak punya kegelisahan untuk dituliskan. Ia tak perlu memikirkan hutang-hutang kecil dan masalah keuangan. Segalanya baik-baik saja. Suaminya bukan macam orang baik yang nyaris tanpa dosa dan membosankan. Ia lelaki yang mempunyai pemikiran dan cabang kehidupan yang luas dan mencengangkan.

Ia membiarkan istrinya melakukan apa saja. Ia tak melarangnya bergaul dengan siapa saja. Ia tak berkeberatan atas bau busuk kelamin istrinya. Ia tak mengharamkan apa pun untuk disentuh perempuan itu. Rokok, alkohol atau tempat hiburan. Tetapi ia tetap menjaganya. Menikmati kesedihan-kesedihan dan ketakutan-ketakutannya sambil bersikeras menikmati bau busuk kelaminnya. Ia bukan macam orang baik yang nyaris tanpa dosa. Ia ingin sekali menyetubuhi istrinya. Atau bermain saja dengan perempuan lain di luar.

Tetapi istrinya pun bukan macam perempuan yang patuh dan mengharukan, yang dengan sendu merawat dan membiarkannya bermain apa saja. Perempuan itu tetap hidup dengan pikiran-pikirannya, kecerdasan-kecerdasannya dan keliaran-keliarannya. Hampir selalu bangun siang dan hanya kadang-kadang memasak untuk keluarga. Selalu mengingatkannya untuk tak melakukan keduanya dan makin hari bau busuk itu membuat dirinya tak berselera pada kelamin perempuan atau persetubuhan. Jadi ia nikmati saja kesengsaraan itu bersama anak-anakannya di masa lalu itu.

Pengantin laki-laki itu mulai tahu perkawinannya tanpa nafsu, bahkan mulai beranjak pada tahap tanpa cinta. Perkawinan itu menjadi pertemanan yang dingin dan abadi. Pertemanan, yang tak mungkin dipisahkan karena ungkitan pemuasan atau memudarnya cinta.

Mereka bercakap di tempat tidur setiap malam. Mereka memberi makan anjing-anjing mereka seperti mengurus anak-anak mereka. Anjing-anjing yang saban hari menyalak bernafsu atas amis daging perempuan. Mereka makan bersama dan menghadiri undangan-undangan berdua. Mereka tertawa-tawa bersama setiap menyadari orang-orang di sekitar mereka mulai terganggu bau busuk.

Pengantin laki-laki itu berusaha keras melupakan kebiasaannya menghirup bau busuk dari kelamin pengantin perempuan. Tetapi kesedihan-kesedihan dan ketakutan-ketakutan yang selalu diceritakan kepadanya membuatnya cemas bertahun-tahun.

Ia pergi bekerja setiap hari. Makan siang di luar. Kadang-kadang memasak sendiri. Ada puluhan bingkai foto tergantung di kamarnya dan ia mampu mengalami kesedihan hanya dengan meliriknya. Maka ia berbaring saja di tempat tidur pada malam-malam hari. Ia tak lagi harus berjaga dini hari untuk membukakan pintu depan dan menahan diri untuk tidak bertanya "dari mana?" karena alasan privasi. Anjing-anjingnya mati kekurangan bau busuk dan ia tak ingin mengenangnya.

Kalau datang semangat ia mandi sore-sore sepulang kerja. Pergi ke rumah-rumah pelacuran. Ia mendapatkan kelamin perempuan dan persetubuhan. Jika muak dengan mereka ia mengunjungi tempat-tempat yang tak dikunjungi perempuan. Gay party atau bilyard.

Begitulah ia menikmati lajangnya. Bertahun-tahun sebelum hari kemarin. Mulai hari kemarin ia mulai terganggu dengan hidupnya sendiri. Ia melihat kawan-kawannya beristri dan berkeluarga. Ia menjadi berkeringat melewati jalan-jalan utama di hari Minggu. Sakit perut menerima undangan-undangan pesta dan makan malam.

Ia ingin merasa dirinya memang tak diciptakan untuk kehidupan yang biasa. Ia ingin orang-orang melihatnya sebagai pria yang mengagungkan kelajangan agar mereka kagum dan tak kasihan. Tetapi tidak bisa. Semua orang tahu bahwa ia punya seorang istri yang jauh-jauh hari telah meninggalkannya. Maka sebagian dari mereka memandangnya kasihan. Sementara orang-orang yang sadar bahwa ialah yang telah sejak mula mengambil keputusan konyol, mencibirnya.

Mulai hari kemarin ia tak ingin lagi pergi ke rumah-rumah pelacuran itu. Ia menemukan dirinya merindukan bau busuk kelamin istrinya. Ia kehilangan kebiasaan-kebiasaan yang tak mampu didapatkan atau dikembalikannya lagi. Ia turun ke jalan-jalan utama pada Minggu pagi dan bergabung dengan para pejalan kaki. Ia menyadari dirinya telah menjadi bukan siapa-siapa yang tak melakukan apa-apa bagi siapa-siapa, ketika sebuah pesan memaksa masuk: Apa kamu merindukanku?

Dina Oktaviani, lahir di Tanjungkarang, Bandar Lampung, 11 Oktober 1985. Saat ini menjadi editor BlockNotPoetry untuk BlockNotInstitute Jogjakarta. Kumpulan cerpennya, Como Un SueƱo (penerbit orakel, 2005). Manuskrip puisinya, songs for dog!