Rabu, 28 Maret 2012

Do I Love That Fat Girl? - Cerpen Cinta

DO I LOVE THAT FAT GIRL?
Cerpen Codet
Pekayon, 3 Juli 2009

“Jak, Jak, bangun Jak, ada tetangga baru!”
“Berisik, ah, baru juga tidur 10 menit!”
“Tetangga baru, Jak, lihat, lagi pindahan.”

Kesal karena Kamal berisik, akhirnya Jaka bangun. Ia menggosok matanya. Lalu ia mengikuti Kamal mengintip tetangga baru mereka melalui jendela bertirai biru laut. Terlihat para pria berseragam dan bertopi sedang megangkut perabot rumah tangga dari truk ke rumah sebelah mereka. Kemudian mereka melihat tetangga baru mereka. Wanita berpostur tinggi dan gemuk, mungkin berusia 22 tahun.
“Hanya untuk melihat wanita gemuk sial itu kau bangunkan aku, Mal!” Jaka melotot pada sahabatnya. “Terima kasih!” geramnya, lalu ia membanting pintu kamarnya dan kembali tidur.
“Jak, jangan begitu, jangan menyebut wanita itu ‘wanita gemuk sial’, dong…” Kamal kembali memperhatikan tetangga barunya. “Kurasa dia wanita yang baik, Jak…”

Do I Love That Fat Girl? - Cerpen CintaMary memperhatikan ruang tamunya yang telah ditata. Akhirnya aku punya rumah sendiri, meskipun masih menyicil, pikirnya senang. Beberapa jam yang lalu, ia, dibantu anak buah ayahnya, menata rumah barunya. Sungguh menyenangkan menata rumah sendiri sesuai keinginannya! Dan ia menyukai rumah barunya yang bercat broken white, dengan dinding kaca bertirai putih.

Setelah berendam dalam bathtub air hangat, Mary bermaksud mengunjungi tetangga sebelahnya dengan membawa sedikit oleh – oleh, seloyang Japanesse cheese cake dan setup apel yang dibuatnya semalam di rumah orangtuanya. Sebelum Mary mengetuk pintu, seorang cowok sekitar 20 tahun-an membuka pintu.
“Hai, kau pasti tetangga baru ‘kan?” tanya cowok itu ramah. Ia mengenakan jaket dan sepertinya hendak pergi keluar.
“Eh, ya, benar. Ini ada sedikit oleh – oleh perkenalan.”
“Wah, terima kasih, merepotkan nih!” Mata cowok itu berbinar – binar. Ia berteriak ke dalam rumah, “Jak, kita tidak usah pergi cari makan, tetangga baru kita memberikan kita cake!”

Mary memperhatikan cowok yang juga seumuran dengan cowok yang pertama, keluar dari ruangan yang sepertinya ruang makan. Ia juga mengenakan jaket. Rambutnya gondrong, dan kesannya ‘liar’ dengan sorot mata tajam, hidung mancung, dan bibir seksi. Benar – benar tipe cowok yang harus Mary jauhi!
“Cake? Sejak kapan aku suka cake, Mal?” tanyanya  sinis.
“Bukannya kau…”
“Aku tidak suka cake.” Cowok itu tersenyum menyeramkan pada cowok pertama. “Oh ya, tetanggaku yang gemuk, terima kasih oleh – olehnya, tapi maaf, kami mau pergi cari makan…”

Mary menahan amarahnya. Ia sudah biasa dikatai gemuk, tapi tidak terang – terangan seperti ini. Benar – benar cowok tidak tahu adat! Mary berusaha tersenyum. “Nama saya Mary. Baiklah, saya permisi…”
“Mary!” panggil Kamal. “Ma – maafkan sahabatku itu, dia memang begitu orangnya. Tapi sebenarnya ia baik, hanya terlalu jujur saja. Aku Kamal, dan dia Jaka. Selamat datang, Mary.”
Mary tersenyum, “ya…Baiklah, aku permisi. Selamat malam.”
Setelah sampai rumah, Mary membanting tubuhnya ke tempat tidur double-nya. Malam pertama yang melelahkan sekaligus menyebalkan…Mary menggigit bibirnya. Ia jadi tidak berselera untuk makan malam. Baguslah, melancarkan dietku yang baru seminggu…
*****

“Apa kau membenci tetangga baru kita?” Kamal menyendok setup apel dari Mary.

Jaka mengunyah potongan cake ke-4 dari Mary pagi ini. “Tentu saja, aku sangat tidak suka cewek gemuk.”
“Kalau tidak suka, cake-nya jangan dimakan.”
“Kau ‘kan tahu aku penggemar cake. Dan cake yang satu ini benar – benar lezat!”
“Ya, dan semalam kau berbohong. Kau menyakiti tetanga baru kita, Jak.”
“Biar saja, bukan dia ‘kan yang bikin.”
Kamal menghembuskan napas. “Jangan terlalu benci, kudo’akan kau akan jatuh cinta setengah mati padanya.”
Jaka terkejut mendengar ucapan sahabatnya. “Jangan begitu dong…”
“Makanya jangan terlalu benci…”

Jaka merajuk. “Kau tidak suka anjing ‘kan? Kodok juga. Ya perasaan seperti itulah saat aku melihat tetangga kita itu.” Jaka mengangkat bahu. “Aku takkan jatuh cinta padanya meskipun di dunia ini hanya ada aku dan dia.”
“Aku pernah baca komik temanku, ada kalimat yang menyatakan ‘Seseorang membenci orang lain karena ia tidak mengenal baik orang itu’, yah kira – kira begitu.”

“Mary, tolong fotokopi dokumen ini.”
“Baik.” dengan sigap Mary memfotocopy dokumen. Biarpun gemuk, Mary sangat sigap dan telaten, sehingga ia disukai bos dan rekan kerjanya. Walaupun ada beberapa rekannya yang bersikap kurang baik padanya. Entah karena iri akan kemampuannya atau jijik melihatnya yang gemuk.
“Bagaimana rumah barumu?”
“Menyenangkan!”
“Tetanggamu ada yang ganteng tidak?” tanya Anita, temannya sejak ia bekerja di kantor ini beberapa minggu yang lalu.

Mary langsung teringat Jaka dan Kamal.
“Ada, yang satu ramah, dan yang satu super jahat.”
“Wah, benarkah? Super jahat itu seperti apa?”
“Dia mengataiku gemuk ─ dengan jelas membenciku ─ dan tidak menyukai cake buatanku.”

Anita tertawa. “Wah, hebat sekali dia. Tapi mustahil ada yang tidak menyukai cake buatanmu, Sayang.”
“Ya dia itu, namanya Jaka.”
“Sabar saja, menurutku kau manis, Sayang.”
Mary tersenyum. “Trim’s.”

Sepulang dari kantor sekitar jam 5, Mary menunggu bus di halte. Lalu ia melihat Roy, mantannya. Pria itu mengejarnya sampai depan minimarket dan menarik lengannya. “Lepaskan aku! Sakit, Roy…”
“Sayang, kenapa kau tidak mau kembali padaku? Sudah kubilang, cewek SMU itu adik temanku. Dia memang naksir aku, tapi aku…”
“Cukup, Roy…” Mary menatap Roy dengan terluka. “Kau hanya memanfaatkan kekayaanku, kaukira aku tidak tahu? Selama 1 tahun aku berusaha mempercayaimu, tapi ternyata kau hanya ingin uangku saja…”
“Itu tidak benar.”
“Aku melihatmu menciumnya di kantormu, beberapa hari sebelum aku memergokimu lagi di café dengannya, lalu kita putus.”
“Itu salah paham. Di – dia yang berusaha menciumku…dan aku sudah jelaskan padamu bahwa dia memaksaku pergi ke café dengannya!”
Mary tertawa sinis. “Aku tidak buta, Roy, dan aku juga tidak tuli. Sebelum aku melabrakmu waktu itu, aku menguping percakapanmu dengannya. Lagipula…” Mary tiba – tiba melihat Jaka sedang meminum cola tak jauh dari tempat mereka berdiri. Tanpa pikir panjang Mary berteriak. “Jaka!” Mary melepaskan pegangan Roy dan memeluk lengan Jaka yang dimasukkan ke saku. “…Lagipula aku sudah berpacaran dengan cowok ini!”

Jaka hampir menyemburkan cola – nya. Apa – apaan ini? Ia merasakan lengan gemuk sedang memeluk lengannya, dan juga dada wanita menyentuh lengannya. Ia melihat wajah memelas tetangga barunya. Cewek gemuk ini lagi!
“Jaka, tolong jelaskan pada mantanku…”
“Ini pacar barumu? Brondong gondrong liar ini? Cowok seperti ini yang kaubilang pacar? Justru dia yang akan lebih – lebih memoroti uangmu!”
Jaka langsung naik darah. Berani – beraninya cowok berdasi ini….”Hei kau musang berdasi, beraninya kau!” Jaka menaikkan lengan kemejanya. Terlihat lengannya yang kuat dan bertato.

Nyali Roy langsung ciut melihat tato naga Jaka, lalu langsung menghilang ke dalam kerumunan orang – orang yang berlalu lalang. Jaka mengacungkan jari tengahnya.
“Lepaskan aku.”
“Maaf…terima kasih.”
“Lain kali jangan seenaknya memelukku. Dasar musang menyebalkan. Enak saja mengata – ngataiku.” Jaka menepuk – tepuk lengannya, seolah berdebu. Jaka menatap Mary tajam. “Sudah, sana pergi. Menganggu saja.”
“Tunggu…aku mau mentraktirmu makan sore karena telah menolongku.”

Tiba – tiba perut Jaka berbunyi sangat keras, membuatnya malu setengah mati. “Memangnya kau punya duit?”
“Masakan buatanku.”
“Tidak sudi, nanti kau memasukkan racun.”
“Baiklah, kau mau makan di mana?”
Jaka tersenyum jahat.

Mary tersenyum puas karena Jaka terbengong – bengong. Mereka kini berada di restoran mewah namun santai, dengan masakan – masakan dan minuman sangat mahal dan lezat. Mereka tadi pergi dengan vespa Jaka walau sebelumnya Jaka protes bahwa bannya akan kempes jika dinaiki Mary. Tapi tidak ada pilihan lain, dan untungnya ban vespa Jaka tidak kempses.
“Kau benar – benar orang kaya, seperti yang dikatakan musang itu, hah?”

Mary mengangkat bahu. “Silahkan pesan sesukamu.”
“Benarkah? Ehem,” Jaka langsung bersikap sombong. “tentu saja, sudah seharusnya. Aku ‘kan sudah menolongmu.” Jaka membaca menu. Lalu ia memesan banyak makanan.
“Kau akan menghabiskan semuanya?”
“Tentu saja, lambungku sangat kuat.”

ary tertawa. “Kalau belum cukup, kau boleh pesan untuk dibawa pulang. Untuk Kamal juga kalau kau mau.”
“Hah, tidak usah. Si malaikat itu punya teman yang selalu mentraktirnya makan siang.”
“Malaikat? Memang cocok.” Mary tersenyum. “Dan kau ‘si Iblis’.”
Jaka melotot, tapi Mary tidak takut. Senyum Mary malah semakin lebar. “Kau ini bodoh ya, mau saja berpacaran dengan si musang itu?”

Mary tersenyum sedih. “Ya, aku memang bodoh…”
“Tentu saja, seharusnya kau mengaca, kau ini gemuk, tapi kaya. Tentu saja cowok – cowok hanya menginginkan uangmu saja.”

Tahan, Mary, sabar…Mary tersenyum kaku.
“Apa kau suka memberikan si musang itu banyak hadiah dan selalu mentraktirnya?”
“Ya…dia selalu beralasan lupa membawa dompet, belum gajian, dan…”

Jaka melambaikan tangannya. “Kau benar – benar payah.”
“Aku tahu…aku selama ini tidak menyadarinya. Karena ia selalu bersikap baik padaku…memujiku cantik…”

Jaka menyender pada bahu kursi. “Wanita memang lemah kalau diberi pujian.”
“Makanan sudah datang, sebaiknya kita makan.”
“Hei, inikah yang tadi kupesan?”
“Kenapa? Kau tidak tahu cara makannya?”

aka mencibir, “peduli amat. Aku tidak suka aturan.” Lalu Jaka mulai makan dengan sekenanya. “Kau hanya makan salad?”
“Aku…diet.”

Jaka terus berbicara sambil makan. Berbeda sekali dengan Roy yang makan dalam diam dan tenang, pikir Mary. Mary sendiri terbiasa makan dalam diam dalam keluarganya.
“Apakah kau baru kali ini berdiet?”
“Ya…baru seminggu sih, sejak aku putus dari Roy. Sejak remaja, Ibuku melarangku berdiet. Roy juga begitu. Katanya gemuk juga cantik. Mm, teman kantorku juga ada yang bilang. Jadi jika ada yang menyebutku gemuk, atau mencaci bentuk tubuhku yang tdak enak dipandang, aku langsung saja mengingat perkataan Ibuku dan Roy…”
“Kenapa kau diet?”
“Aku ingin menjadi cantik untuk diriku sendiri, selama ini aku tidak pernah berusaha…” Mary menatap tajam Jaka. Lalu Mary melihat Jaka tersenyum, senyum yang tulus, dan entah kenapa, tiba – tiba jantungnya berdegup kencang.
“Itu kata – kata yang cukup bagus.”
“Bukan ‘cukup’, tapi ‘sangat’.”
*****

“Jak, kau kenapa? Seharian ini kau hanya bengong, dan dari tadi bolak – balik memandang keluar terus…”
“Bu – bukan urusanmu!” Jaka mengambil koran Kamal dan pura – pura membacanya. Lalu ia mendengar Kamal terbahak dan mengatakan bahwa korannya terbalik. “Aku mau keluar cari makan, kau mau ikut tidak? Dari pagi kita kan belum makan.” Jaka melempar koran ke wajah Kamal.
“Baiklah.” Kamal masih tertawa. “Kau seperti orang yang sedang jatuh cinta.”
“Ada – ada saja kau!” Saat Jaka mengeluarkan vespa – nya, ia melihat Mary, dan jantungnya langsung berdebar kencang. Bodoh, bodoh, apa – apaan, kenapa aku berdebar – debar, dan kenapa seharian ini aku ingin melihat wajahnya yang bulat dan tubuhnya yang gemuk?? Sepertinya aku sudah tidak waras!
Pertama kali ia berdebar seminggu yang lalu saat di restoran, saat Mary menatapnya sungguh – sungguh dan mengatakan kalimat yang menurutnya benar – benar bagus dan mengandung kesungguhan. Dan matanya yang bulat hitam, sungguh menawan saat itu. Tapi saat itu Jaka masih ragu apakah Mary hanya membual atau tidak.
Lalu keesokan paginya saat Jaka ke garasi untuk cuci motor, ia melihat Mary baru pulang dari lari pagi, tubuhnya penuh keringat. Seharusnya ia membenci tubuh gemuk berkeringat bau itu, tapi entah kenapa, ia malah menyukainya, dan lagi –lagi ia melihat kesungguhan dan tekad yang kuat untuk menjadi cantik di mata Mary. Mary tidak hanya berbicara, tapi juga melaksanakan tekadnya itu. Tapi waktu itu Jaka malah mengejeknya ‘bau’, dan Mary hanya mencibir.

Jatuh cinta! Jaka teringat perkataan Kamal barusan, dan kepalanya serasa berdengung. Ia merasa sesak napas. Tidak mungkin, pasti salah…
“Kalian mau pergi, ya?”
“Mau cari makan!” jawab Jaka kasar.
“Oh, begitu. Bagaimana kalau makan siang di rumahku? Aku ke sini untuk mengundang kalian.”
“Wah, boleh tuh.” Kamal langsung menyanggupi.
“Tidak usah, nanti makanannya beracun lagi.”

Mary terseyum, dan saat Jaka menatapnya, ia baru menyadari wajah Mary yang terlihat sedih. Biasanya jika Jaka mengejeknya, Mary selalu menatapnya penuh kejengkelan atau menantang. Tapi kali ini…?
“Baiklah, gratis ‘kan? Aku mau.” ralatnya, dan tiba – tiba wajah Mary terlihat cerah. Jaka merasa senang melihatnya. Senang? Jaka tidak menyangka, hidangan yang disuguhkan Mary benar – benar lezat! Sapi lada hitam, fish black pepper, pizza buatan sendiri, dan Japanesse cheesse cake. Ditambah salad sayur dan salad buah. Minumannya jus jeruk dan jus strawberry tanpa gula untuk Mary sendiri.
“Kau diet ya? Hanya makan salad sayur dan buah saja.” tanya Kamal.
“Iya, benar.”
“Kau koki yang hebat! Ini benar – benar masakanmu?” Kamal terkagum – kagum.

Jaka melihat Mary tersipu, cantik. Tapi ia tidak suka bahwa Kamal yang membuat Mary tersipu. Apakah Mary naksir Kamal? Kamal baik dan perhatian pada Mary…
“Kau tahu, cake yang waktu itu kauberikan pada kami, habis dimakan Kamal. Aku hanya disisakan dua potong, lho!”
“Benarkah?” pipi Mary merona, membuat Jaka senang. Syukurlah, aku juga bisa membuatnya tersipu. Cantik. “Bu – bukankah kau tidak suka cake?”
“Sebenarnya Jaka penggemar cake dan dia bilang cake – mu adalah cake terlezat yang pernah dimakannya.” ujar Kamal.
“Kau banyak omong dan hiperbola.”
“Aku senang.” Senyum Mary benar – benar cerah. “Kalau kalian mau, kalian bisa makan malam di sini juga. Sebenarnya aku butuh teman mengobrol…”
“Ah, maaf Mary, aku tidak bisa. Temanku mengajakku makan malam di rumahnya.” Kamal meminta maaf.
“Aku bisa.”

Kamal dan Mary memandang pada Jaka dengan tampang tidak percaya.
“Kalau tidak mau ya sudah…”
“Aku sangat senang! Kau mau apa untuk makan malam nanti?”
“Terserah. Mm, masaknya nanti sore ‘kan? Bagaimana kalau sekarang kita jalan – jalan dulu. Aku butuh baju baru untuk kuliah.”

Lagi – lagi Kamal dan Mary memandang Jaka dengan aneh dan tidak percaya.
“Model kaus yang aneh…” komentar Mary setelah satu jam mereka berputar – putar di mall.
“Enak saja, ini bukan aneh, tapi unik. Aku ini penyuka segala sesuatu yang unik.” Jaka membayar ke kasir.
“Kau yakin tidak mau kubayari kausnya?”
“Kau ‘kan bukan istriku.”
“Memangnya kalau nanti kau menikah, istrimu yang akan membelikanmu kaus?”
“Bukan begitu, hanya saja setelah aku menikah, uangku adalah uang istriku, begitu juga sebaliknya.”
“Oh…”

Setelah membayar ke kasir, mereka langsung ke parkiran, dan mereka bertemu Roy bersama pacarnya.
“Wah, wah, musang, mesra sekali, ya.” Jaka menyeringai.

Roy langsung melepaskan rangkulannya dari pacarnya. “Kenapa kalian ada di sini?”
Jaka mengerutkan alisnya. “Bukankah itu pertanyaan paling tolol? Tentu saja belanja, atau nongkrong, atau nonton bioskop. Kami kencan.” dengan seenaknya Jaka merangkul Mary. Awalnya Mary berusaha menjauh, tapi Jaka menahannya. Ia melingkarkan lengannya di pinggang Mary yang besar. Empuk dan lembut, pikir Jaka, dan jantungnya langsung berdebar.
“Mary…” panggil Roy.
“Ayo kita pergi, Sayang.” Mary merangkul Jaka ke arah vespa Jaka.
“Kau masih mencintainya?” tanya Jaka penasaran.
“Tidak, hanya rasa sakit hati masih sedikit tertinggal.”
“Peluk aku ya.”
“Kenapa?”
“Kita akan mengebut. Biasanya kalo mengebut bisa menghilangkan stress lho.”
“Tidak mau, Jaka! Hei! Uwaaaaaaaa!!!” Mary berteriak – teriak panik, lalu akhirnya ia meneriakkan isi hatinya ,”dasar cowok idiot! Sayang sekali menyia – nyiakan ATM berjalan!!”
Jaka yang mendengarnya langsung terbahak – bahak. Dasar cewek yang unik! pikirnya senang.

Setelah sampai rumah, Jaka membantu membuat masakan untuk makan malam, tapi karena benar – benar tidak becus, Mary menyuruhnya menonton TV atau DVD saja. Tapi Jaka malah menonton Mary memasak sambil duduk di kursi dapur.
“Kau cantik.” Jaka keceplosan, membuat Mary hampir memecahkan mangkuk berisi telur.
“Kau tidak bilang begitu saat pertama kali melihatku.” Mary tertawa.
“Tapi sekarang aku jatuh cinta padamu.”
“Tidak.”
“Kenapa?”
“Kau sangat membenciku yang gemuk ini.”
“Iya, benar, tapi itu seminggu yang lalu...”
“Hanya dalam seminggu kau jatuh cinta padaku?”
“Tidak, kurang dari itu. Saat di restoran…”
“Karena kutraktir?”
“Bukan, aku tidak serendah itu. Entahlah, mungkin aku jatuh cinta pada kesugguhanmu.”
Mary menggeleng. “Maaf.”
Jaka mengangkat bahu. “Tidak apa, aku tahu kau masih trauma. Ah, sebaiknya aku nonton TV.” Jaka tersenyum lalu melangkah gontai ke ruang TV. Dasar idiot, bodoh, bego! Kenapa menyatakan tanpa persiapan? Seperti bukan aku saja! Bagaimana meyakinkannya bahwa aku benar – benar mencintainya?

Mary sungguh senang akan pernyataan Jaka, ternyata ia tidak bertepuk sebelah tangan! Tapi ia tidak bisa begitu saja menerima Jaka. Ia tahu saat melihat mata Jaka. Jaka tidak membohonginya. Jaka tulus, dan Mary tahu Jaka memang seperti itu. Walau pada awalnya Mary sangat membenci Jaka, tapi setelah Jaka menolongnya dari Roy, Mary tahu bahwa sebenarnya Jaka baik. Sejak ia mulai jatuh cinta pada Jaka di restoran, Mary berjanji pada dirinya sendiri untuk menyatakan cintanya pada Jaka setelah turun 5 kilo. Jadi, sekarang ia belum bisa menerima Jaka.
Setelah Mary menolak Jaka, Jaka tetap baik padanya, walau kadang mengejeknya sambil bercanda.
“Kurasa aku terkena kutukan si malaikat.” ujar Jaka di suatu sore. Mary dan Jaka sedang menikmati hari Minggu yang tenang di halaman belakang rumah Mary yang sejuk.
“Maksudmu?”
“Kamal mendo’a kan aku akan jatuh cinta setengah mati padamu.”
Mary tertawa.
“Itu benar. Pagi hari ia berdo’a, dan sorenya aku jatuh cinta padamu. Dan aku baru menyadari kutukannya ‘mengena’ setelah satu minggu.”
Kali ini Mary benar – benar terbahak – bahak. “Kau lucu sekali.”
“Sehingga membuatmu jatuh cinta?”
“Kurasa ya.”

Jaka langsung terduduk. “Mary, kau sungguh – sungguh mengatakannya?”
“Iya…”
“Yeeiiii!” Jaka langsung berdiri lalu melompat kegirangan dan melakukan tarian yang benar – benar aneh dan menggelikan. “Yess, yess, yess!” Kemudian ia berhenti dan kembali duduk, bersila. “Ko bisa?”
“Mmm…mungkin karena kau konyol dan unik.”
“Kau yang unik, gadis gemuk!” Jaka memeluknya, tetapi Mary berhasil menghindar, dan Jaka menabrak tanah. “Sakit…”
“Dasar! Iya, ya, meskipun dalam 3 bulan ini aku sudah turun 5 kilo, aku belum disebut kurus.”
“Aku tidak peduli kau mau kurus atau gemuk. Gemuk juga kau cantik, manis, imut, dan aku jatuh cinta!”

Mary tertawa. “Sepertinya aku pernah mendengar ucapan itu dimana, ya…”

Jaka tertawa dan merangkulnya. Lalu ia mengecup bibir Mary mesra. “Sepertinya aku mengerti ucapan Ibumu…”
“Apa?”
“Kalau sudah jatuh cinta, apa pun menjadi indah…”
“Itu kata – kata yang cukup romantis.” Mary mengangguk – angguk.
“Bukan ‘cukup’, tapi ‘sangat.’” Lalu keduanya terbahak – bahak, membuat suasana menjadi ceria di sekeliling mereka.

Kuningan, 14 Juli 2009

Baca juga Cerpen Cinta yang lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar